oleh: Martoni Ira Malik
Prosesi pemilihan anggota Senat Universitas Mataram periode 2025–2029 telah usai. Hari ini, 7 November 2025, para senator akademik rencananya akan dikukuhkan secara resmi sebagai representasi akademik tertinggi di lingkungan universitas.
Momen ini menandai babak baru bagi Universitas Mataram (Unram), yang hingga kini masih berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan tengah berupaya memperkuat tata kelola akademik di tengah dinamika politik kampus yang semakin kompleks.
Dalam peta pendidikan tinggi Indonesia, Senat Universitas sering diposisikan sebagai lembaga akademik tertinggi—penjaga nilai-nilai keilmuan, etika akademik, dan mutu pendidikan. Namun di banyak kampus negeri, termasuk Universitas Mataram yang masih berstatus PTN-BLU, senat kerap berperan ganda: sebagai benteng akademik sekaligus arena politik internal kampus.
Peran ganda inilah yang kini perlu dibaca secara lebih kritis, terutama di tengah wacana transisi Unram menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH)—wacana yang menarik secara strategis, tetapi masih terlalu dini secara kesiapan kelembagaan.
Senat di Persimpangan Akademik dan Politik
Secara normatif, Senat Universitas adalah penjaga marwah akademik (guardian of academic integrity). Ia berfungsi menetapkan kebijakan akademik, memberi pertimbangan pengangkatan jabatan fungsional, serta menilai kelayakan akademik dosen atau calon pimpinan universitas.
Namun dalam kenyataannya, senat juga menjadi arena representasi dan negosiasi politik fakultas. Tiap fakultas berupaya menempatkan wakilnya dalam senat—bukan hanya demi kehormatan akademik, tetapi juga demi posisi tawar kelembagaan terhadap kebijakan rektorat.
Kursi senat pun sering kali menjadi “ruang berpengaruh”—arena politik kampus tempat loyalitas, kedekatan personal, dan aliansi akademik saling beririsan. Dengan kata lain, senat tak hanya menentukan arah akademik, tetapi juga menjadi poros kekuasaan dalam tata kelola universitas.
Kekuatan Elektoral: Antara Etika dan Kekuasaan
Kekuatan politik senat paling menonjol saat pemilihan rektor. Dalam mekanisme PTN-BLU, senat menjadi filter utama sebelum nama calon rektor diajukan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Secara ideal, mekanisme ini menjaga objektivitas dan meritokrasi. Namun dalam praktiknya, senat sering menjadi panggung kontestasi kekuasaan akademik: terbentuknya blok-blok dukungan antar-fakultas, lobi personal, dan kompromi politik yang tidak selalu sejalan dengan semangat etika akademik.
Fenomena ini bukan khas Unram semata. Di banyak universitas negeri lain, fungsi elektoral senat juga cenderung bergeser dari forum etik menjadi arena politik pragmatis.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana menjaga agar senat tidak kehilangan fungsi akademiknya di tengah dinamika politik kampus?
Wacana PTN-BH: Ambisi yang Belum Didukung Kesiapan
Dalam berbagai forum, muncul wacana untuk menjadikan Unram sebagai PTN-BH. Secara prinsip, PTN-BH memang memberi otonomi yang luas bagi universitas dalam hal keuangan, sumber daya manusia, dan inovasi. Namun otonomi menuntut kesiapan sistemik dan budaya organisasi yang matang—sesuatu yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Sebagai PTN-BLU, Unram masih bergantung pada sistem keuangan negara dan regulasi birokrasi yang ketat. Di sisi lain, kultur akademik dan tata kelola internal, termasuk peran senat, masih sering berorientasi pada struktur, bukan visi kolektif universitas.
Dalam situasi seperti ini, berbicara tentang transformasi menuju PTN-BH tanpa konsolidasi etik dan tata kelola justru berisiko memperkuat oligarki akademik—di mana kekuasaan senat dan rektorat saling mengunci, bukan saling mengawasi.
Dengan kata lain, sebelum berbicara soal badan hukum, universitas harus terlebih dahulu menegakkan badan moralnya—yakni integritas, transparansi, dan etika akademik.
Reposisi Senat untuk Masa Depan Unram
Dalam konteks pembangunan jangka panjang Unram, sebagaimana digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Universitas Mataram 2025–2049, senat perlu direposisi.
Ia harus menjadi lembaga deliberatif profesional, bukan arena kompetisi politik antar-fakultas. Perannya harus bertransformasi dari “penentu kekuasaan” menjadi “penjaga kebijaksanaan”; dari parlemen kampus menjadi dewan etik akademik yang memelihara keselarasan antara kebebasan ilmiah dan tanggung jawab publik.
Tanpa reposisi seperti ini, senat akan terus terjebak dalam siklus pragmatisme politik kampus, di mana integritas akademik dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek.
Penutup: Kembali ke Esensi Akademik
Perguruan tinggi tidak akan pernah steril dari politik, karena kampus adalah miniatur masyarakat. Namun politik di kampus seharusnya adalah politik nilai dan gagasan, bukan politik posisi dan kepentingan.
Unram kini berada di persimpangan penting: antara memperkuat fondasi akademiknya sebagai PTN-BLU yang sehat atau tergesa-gesa mengejar status PTN-BH tanpa kesiapan etik dan struktural. Dalam konteks ini, Senat Universitas harus berdiri di garda depan sebagai penjaga moral akademik, bukan sekadar pemain dalam panggung kekuasaan kampus.
Karena sebelum menjadi universitas berbadan hukum, Unram harus lebih dulu menjadi universitas berbadan nurani.
Selamat bekerja, wahai para senator. Di hati, isi otak, dan lidah Bapak/Ibu kami berharap. Bicaralah—jangan hanya datang, duduk, dan diam. Kepada kalian, kami pasrahkan dan titipkan masa depan kami, institusi ini, dan juga negeri ini menuju versi terbaiknya untuk umat manusia.



