Akhir tahun merupakan waktu yang sibuk bagi para aktivis kampus berebut kursi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik di lingkup Fakultas maupun Universitas, tidak terlepas di Unram juga. Dan akhir-akhir ini Unram disibukkan dengan kegiatan tersebut.
Di tahun-tahun sebelumnya pemilihan ini berlangsung panas dan tentu banyak drama. Pertama kali saya mengikuti Pemira langsung disuguhkan dengan tawuran antar pendukung paslon. Di tahun berikutnya drama ketua KPRM menghilang saat penghitungan suara, dan dipemilihan tahun kemarin terpilihnya secara aklamasi salah satu paslon. Tahun ini drama apakah yang akan terjadi?
Sampai saat saya menulis ini, ada tiga bakal calon ketua dan sekjen BEM Unram 2022 yang telah terlihat pamfletnya di sosial media. Dan info dari instagram resmi KPRM Unram pendaftaran calon ketua dan Sekjen telah resmi ditutup. Entah ketiga bakal calon yang terlihat ini sudah menyerahkan berkasnya saya tidak tau dan tentu tidak mau tau.
Saya tidak akan membahas siapa calon terkuat dengan bendera apa dibelakangnya atau cara meruntuhkan rezim yang sudah puluhan tahun berkuasa, saya yakin kita punya jawabannya masing-masing. Tetapi disini saya akan membahas idola saya, organisasi saya dan rumitnya perpolitikan kampus.
Situasi seperti yang saya tuliskan diatas mengingatkan kita tentang Soe Hok Gie, Founding Father Pecinta Alam, salah satu orang yang membentuk Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) 1964 silam. Disamping dengan kegemarannya mendaki gunung, salah satu faktor Gie membentuk Mapala adalah rumitnya perpolitikan kampus.
Pada masa itu, perpolitikan kampus di UI penuh dengan konflik dan intrik, sama halnya dengan di Unram saat ini. Diceritakan pada masa itu orang-orang berebut posisi Senat Mahasiswa dengan latar belakang organisasi ekstra berbeda melakukan perdebatan dan sampai berlanjut pada perkelahian.
Orang-orang yang berebut posisi inipun memiliki latar belakang organisasi ekstra kampus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi ekstra kampus merupakan underbow dari partai-partai politik saat ini. Itulah yang membuat Gie pada masa itu menolak kehadiran organisasi ekstra kampus di almamaternya.
Karena latar belakang itulah Gie dan kawan-kawannya di Mapala sering melakukan nonton bareng dan mendaki gunung agar terhindar dari perpolitikan kampus yang berpotensi membuat rusak silaturahmi dan pertemanan. Mungkin karena inilah sebagian besar Mahasiswa Pecinta Alam di Indonesia cuek dengan perpolitikan kampus dan tidak ingin mengambil peran.
Sejak saat itu Gie rutin mendaki gunung, mulai dari gunung Gede, Salak dan Pangrango yang sama-sama terletak di Jawa Barat. Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango menjadi tempat favorit bagi Soe Hok Gie. Dalam puisinya Gie tercatat dua kali mengucapkan “Aku cinta padamu, Pangrango”
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. Â Adalah kata-kata dari Filsuf Yunani yang disukai Gie.
Benar saja, aktivis tersebut tidur dalam keabadian di Gunung Semeru pada usianya yang yang masih muda yaitu 26 tahun, sehari sebelum ulang tahunnya. Gie meninggal dalam pendakian karena menghirup gas beracun di atap tertinggi tanah jawa tersebut dan yang sama-sama kita tau juga Semeru masih dalam tanggap darurat akibat erupsinya beberapa hari yang lalu.
16 Desember kemarin mengenang 52 tahun wafatnya Soe Hok Gie dan hari ini 17 Desember tepat 79 tahun kelahirannya. Sudah lebih setengah abad Gie meninggalkan kita, tapi rangkaian pemikiran yang ditinggalkannya melalui beberapa karya buku masih bisa kita baca dan pahami.
Gie adalah sosok yang bebas dan idealis. Baginya keadilan dan kemanusian lebih penting dari segala bentuk apapun, oleh sebab itu beberapa dari isi karyanya ini telah menggambarkan sikap Gie yang kritis, idealis, jujur, nasionalis, dan peduli terhadap bangsa ini. dia selalu merefresentatifkan dirinya sebagai manusia yang merdeka. Hormat saya Gie!
Untuk menutup tulisan ini izinkan saya mengutip quotes yang entah saya dengar atau baca dari mana, yang katanya adalah “Jika politik memecah belah mari mendaki gunung seperti Soe Hok Gie, tapi tidak untuk mati muda”.