Dua pria ini sejajar. Keduanya memiliki pengetahuan sempurna. Daud raja pemberani dengan putera Sulaiman yang bijak. Hal itu terbukti karena mereka telah membuat tahta kekuasaan bertahan dan mampu dipercaya sekian lamanya. Baginda Sulaiman menggantikan raja sebelumnya, Baginda Daud.
Rendah hati. Sikap itu terwujud dengan Sulaiman yang suka bersyukur. Kekuasaan yang megah tak membuat Sulaiman pongah. Padahal kekuasaan dan pengetahuan berhimpun dalam dirinya. Di hadapan Allah Sulaiman bersyukur atas nikmat itu. Nikmat yang membuat dirinya punya kelebihan dibandingkan dengan yang lain.
Apa sebenarnya kecakapan yang Allah anugerahkan untuk Sulaiman? Qur’an. mengisahkan kutipan pernyataan Sulaiman:
“Kami berikan mukjizat kepada Sulaiman berupa angin yang dapat membawanya pergi jauh. Perjalanan yang biasanya ditempuh sebulan pergi, sebulan pulang dapat Sulaiman tempuh dalam sehari. Kami jadikan tembaga dapat mencair laksana air untuknya. Kami jadikan jin tunduk kepada Sulaiman untuk menjadi pekerjanya dengan izin Tuhannya. Siapa saja di antara jin-jin yang berani menyalahi perintahnya, Kami timpakan adzab yang pedih kepadanya (QS Saba’: 12)
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai manusia, kami telah dianugerahi pengertian tentang suara burung dan kami telah dianugerahi segala sesuatu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata (QS an-Naml (27): 16)
Otoritas kekuasaan itu bukan sebuah pilihan. Kelebihan yang dipunyai Sulaiman meningkatkan rasa syukur. Kekuasaan apapun adalah karunia Allah. Begitulah Baginda Sulaiman memandangnya. Lebih tepatnya, itu adalah amanah. Daud lebih memilih Sulaiman untuk melanjutkan tahta. Dari sebelas putera Daud hanya Sulaiman yang terpilih jadi penerus tahta. Kekuasaan itu diawali dengan pidato Sulaiman tentang anugerah dan kelebihan yang dipunyainya. Pada rakyat dirinya berseru bahwa semua kelebihan itu anugerah. Allah memberi Sulaiman mukjizat berupa kemampuan memahami bahasa burung. Kemampuan yang sangat berguna untuk seorang raja. Tak hanya suara burung Sulaiman juga diberi nikmat memahami keluhan seekor semut. Qur’an melukiskan ini dengan memukau
“Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentara-tentaranya dari jin, dan manusia serta burung lalu mereka diatur dengan tertib. Hingga ketika mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kamu, agar kamu tidak dibinasakan oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya sedangkan mereka tidak menyadari” (QS Surah an-Naml (27) ayat 17-18)
Lihat sebentar kisah ini: Sulaiman mengumpulkan semua pasukan. Berdirilah di sana rombongan yang komplit: manusia, jin, burung. Sungguh gelar pasukan yang menggetarkan. Hingga seekor semut-pun kuatir dan cemas melihatnya. Spontan seekor semut itu beri peringatan pada kawanan semut lain. Sulaiman dan pasukanya tanpa sadar bisa memusnahkan kediaman kawanan semut. Ketakutan semut itu hinggap sampai telinga Sulaiman. Kecemasan itu rintihannya didengar oleh Baginda Sulaiman.
Maka dia tersenyum dengan tertawa karena perkataanya. Dan dia berkata: “Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang saleh (QS Surah an-Naml (27) ayat 19)
Keluhan semut itu membuat Sulaiman tersenyum. Kecemasan semut telah membawa Sulaiman pada kesadaran betapa rapuhnya kekuasaan. Semut yang tampak kecil dan hina memperoleh perlindungan dari kuasa Sulaiman. Sungguh kepemimpinan yang arif. Tanpa memahami itu semua anugerah maka kekuasaan ga jadi bencana. Kelak Thomas Aquinas mengekalkan paham itu dengan hukum kodrat. Sebuah legitimasi etis atas bangunan kekuasaan. Bahwasanya kekuasaan manusia itu tak pernah mutlak dan selalu terbatas. Karena bagi Thomas Aquinas semua manusia itu ciptaan Allah maka dilarang bagi manusia untuk merasa lebih unggul. Tugas penguasa tak lain adalah melindungi kepentingan rakyatnya dan menjamin keamanan bagi rakyatnya². Seekor semut-pun memiliki hak perlindungan.
Sulaiman kini terpaku dengan mukjizat yang diberikan padanya. Doanya melantun indah dengan penuh pujian. Daud konon pernah bertanya: “Wahai Tuhan bagaimana aku menyukuri-Mu, padahal kesyukuran adalah nikmat-Mu yang lain, yang juga membutuhkan syukur dariku? Allah mewahyukan kepadanya bahwa: “Kalau engkau telah menyadari bahwa apa yang engkau nikmati bersumber dariKu, maka engkau telah mensyukuri-Ku”.
Pada kekuasaan yang memiliki nalar seperti itulah Plato sebut dengan negara utopis. Konsep yang selalu membayangkan negara seperti anatomi tubuh. Pemimpin, aparat dan rakyat bagai susunan kepala, dada dan perut. Maka pemimpin hendaknya dipegang oleh pribadi yang berakal dengan cara pikir rasional. Sulaiman sosok beriman dan berakal yang diberi kelebihan komplet: mampu mendengar keluhan seekor semut hingga kepemimpinanya yang sangat disiplin. Sikap itu dilukiskan dengan memukau:
Dan dia memeriksa burung-burung, lalu mereka berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hudhud, apakah dia termasuk yang tidak hadir? Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksa yang pedih atau aku benar-benar akan menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan bukti yang terang (QS an-Naml ayat 20-21)
Gelar pasukan itu kini mengundang rasa kecewa. Pasukan burung tidak berada dalam barisan. Sulaiman bergetar dan mengancam: hukuman akan dijatuhkan pada burung Hud-hud. Niccolo Machiavelli secara lantang menyebut bahwa kekuasaan butuh sebuah teror. Bagi Machiavelli kekuasaan apapun bentuknya harus mampu melayani kepentingan raja. Etika keji yang dikatakan Machiavelli: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja. Segala apa yang melayani tujuan itu harus dibenarkan. Tapi Sulaiman bukanlah pencetus Machiavelli. Sulaiman mempertegas wajah umum kekuasaan: menegakkan disiplin dan memperluas kepatuhan. Kelak Thomas Hobbes meyakini bahwa naluri terkuat dalam kekuasaan adalah mempertahankan nyawa. Kata Hobbes: jika ingin menertibkan manusia, untuk membatasi nafsu-nafsunya, tak ada cara lain kecuali menebar ketakutan bukan meminta tanggung jawab moral. Leviathan nama negara Hobbes yang tugasnya menebar rasa takut.
Tapi Sulaiman tidak berdiri di atas negara Hobbes. Kekuasaanya membawahi manusia, jin dan binatang. Sulaiman ingin kekuasaan itu merata dan diterima. Agaknya itulah yang membuat Hudhud kemudian bicara pada Sulaiman. Hud hud membawa informasi yang tidak diketahui Sulaiman. Hud hud mengusung berita yang langka. Qur’an mengisahkan itu semua:
Burung Hud hud ternyata berada tidak jauh dari tempat Sulaiman berdiri. Burung Hud-Hud berkata:
“Wahai Sulaiman, aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang benar’. Sesungguhnya aku menemukan seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (QS An Naml (27): 22-23)
Hud hud membawakan informasi. Tentang negeri yang bernama Saba’. Berita itu dibawa dengan bersemangat. Sebuah informasi yang bisa diandalkan. Kelak Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi, meyakini bahwa informasi adalah penentu keputusan ekonomi politik. Stighlitz percaya bahwa sistem statistik dan akunting yang saat ini ada merupakan model pengolah informasi yang andal. Tapi sejauh mana informasi itu diolah sangat ditentukan oleh kualitas lembaga kekuasaan. Setidaknya ilmuwan pemuja kapitalisme, Francis Fukuyama, mempercayai kualitas kelembagaan sangat menentukan dalam meraih kemajuan ekonomi.
Tolak ukur terpenting untuk memastikan kualitas lembaga adalah managemen informasi’. Seberapa cepat umpan balik dari informasi itu diolah untuk menjadi keputusan taktis. Sulaiman menegaskan kembali temuan Stiglitz.
Hud hud membawa informasi tentang negeri Saba’. Sebuah negeri yang dilukiskan oleh Qur’an penuh dengan kelimpahan. Qur’an secara meyakinkan memberitahu pada pembacanya keadaan Saba’:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda di tempat kediaman mereka yaitu dua kebun di kanan dan di kiri. “Makanlah dari rezeki Tuhan kamu dan bersyukurlah kepada-Nya; negeri yang baik dan Tuhan Maha Pengampun” (QS Saba’ (34): 15)
Tentu kita telah mengetahui bagaimana kelanjutan dari kisah Baginda Sulaiman: menaklukkan kerjaan Saba dan Ratu Balqis. Tapi pada tulisan ini, pribadi tak menginginkan Indonesia berperang-menaklukkan negara-negara lain. Yang ingin ditekankan adalah, bagaimana seorang penguasa mampu memberikan rasa aman, nyaman kepada seluruh makhluk hidup yang ada dalam kekuasaannya.
Kharismatik seorang pemimpin bukan saat ia mampu bertahta dengan waktu yang lama. Bukan pula dari kelihaiannya berpolitik: mengalahkan seluruh lawannya. Namun saat ia mampu memastikan rakyat tidak menderita, tersiksa. Mampu membedakan baik buruk, mana kepentingan mana kewajiban. Jangan mencampur antara kewajiban dan kepentingan. Apalagi menyelipkan kepentingan ke dalam kewajiban.
Mari contohi gaya, pemikiran, kekuatan, ideologi berkuasa Baginda Sulaiman dan Daud.