Tulisan Royyan Fadli, “Jangan Marahi BEM Unram” teramat mencerahkan utamanya dalam konteks historisitas (kesejarahan) gerakan feminisme. Namun, tulisan tersebut terlampau cerah hingga menyilaukan bahkan cenderung membutakan kita dari akar persoalan yang menyulut kegaduhan, yakni postingan BEM Unram tentang feminisme. Dalam tulisan itu, Fadli memang menyebutkan sejumlah kesalahan BEM Unram, namun tidak ada uraian deskriptif atas sejumlah kesalahan tersebut.
Tulisan ini tidak akan menambah kilauan paparan feminisme yang telah dengan terang ditulis oleh Fadli, tetapi paling-paling hanya hendak membedah secara kritis dan deskriptif sejumlah argumen BEM Unram tentang feminisme. Dengan dasar dekonstruktif tersebut, akan disingkap akar epistemik dan potensi implikasi berbahanya. Tulisan ini juga akan mengulas fenomena brutalitas media sosial, serta akan ditutup dengan memandang feminisme dari perspektif Horizon tverschmelzungnya Hans Goerg Gadamer, sebuah tesis atas bagaimana seharusnya horizon feminisme didudukan.
“Barangsiapa yang menyatakan bahwa langit itu biru, padahal sebenarnya setengah kelabu, telah melacurkan kata-kata dan mempersiapkan diri menjadi tiran” -Albert Camus
Menelanjangi BEM Unram
BEM Unram tidak hanya telah berhasil menyulut “kemarahan” publik, sebagaimana yang dipahami Fadli dalam tulisannya “Jangan ‘Marahi’ BEM Unram,” lebih dari itu, BEM Unram telah berhasil mempermalukan Unram secara institusional bersama dengan seluruh civitas akademik didalamnya. Padahal, masih segar dalam ingatan, manakala bangsa ini “mengamuk” terhadap upaya sistemis pemberangusan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK, Unram berhasil mementaskan kemuakan dan amukan nalar serta moral publik. Kita boleh berbangga, untuk pertama kalinya, Unram berhasil menolak kehadiran ketua KPK, yang tengarai sebagai biang keladi pelemahan KPK (Baca: KPK Collapse dan Urgensi Penolakan Firli Bahuri Sampaikan “Kuliah Anti Korupsi” di Unram). Namun, seluruh reputasi baik, serta respek terhadap Unram tersebut runtuh oleh postingan absrud tentang feminisme oleh BEM Unram. Diatas reruntuhan tersebut, terbangun kesan dan citra buruk, bahwa Unram adalah markas bagi para misoginis, sebuah institusi patriarkis yang primitif. Sebab tulisan ini mendekonstruksi argument BEM Unram, hendaknya pembaca terlebih dahulu membaca postingan BEM Unram.
Pertama, dalam postingan tersebut BEM Unram memulai dengan mempertanyakan tentang kesalahan yang termuat dalam gerakan feminisme, “Trus apa yang salah dari gerakan ini????” tulis BEM Unram, diandaikan telah terlebih dahulu tersemat kesalahan didalam feminisme. Seharusnya ada silogisme atau minimal premis-premis yang mengantarkan pada kesimpulan. Tanpa silogisme, premis atau dalil apapun feminisme dihakimi bersalah.
Kedua, BEM Unram menulis “Tentu ada yang salah guys,,,,” terdalilkan postulat kosong dengan basis argumentasi pembuktian yang absurd. Dalil yang digunakan sempit, diandaikan bahwa ada suatu fitrah tertentu yang melekat dalam diri perempuan. Sedari awal, konsepsi mengenai fitrah problematis, Thomas Hobbes memfitrahkan manusia sebagai homo homini lupus, yakni manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, Aristoteles juga memfitrahkan manusia sebagai zoon politicon, mahluk yang berpolitik, sepanjang sejarah, ada teramat banyak fitrah manusia. Inilah alasan mengapa konsepsi mengenai fitrah itu bermasalah. Tidak seharusnya gambaran spesifik, khas dan terbatas tentang manusia dipaksakan berlaku universal dan digunakan sebagai dasar menyalahkan konsepsi lainnya. Atas beragamnya kopsepsi tentang fitrah manusia, hendaknya fitrah manusia didasarkan pada historisitas manusia, “manusia adalah mahluk historis” tulis Prof. F. Budi Hardiman.
Ketiga, BEM Unram menulis “feminisme radikal memperjuangkan KEBEBASAN yang kebablasan” disini sama sekali tidak diuraikan kebebasan macam apa yang dimaksud oleh BEM Unram. Selain itu, ukuran yang digunakan sebagai standar penentuan “kebablasan” itu kabur dan tidak jelas. Seharusnya ada standar tertentu untuk menentukan apakah suatu hal melampaui batas (baca: kebabalasan) atau tidak. Hebatnya lagi, BEM Unram menggunakan kata ganti subjek yakni “Dia” untuk menyebut feminisme yang merupakan objek. Bagi BEM Unram, feminisme “menggerus nilai dan norma yang berkembang di masyarakat Indonesia.” Feminisme yang merupakan objek pengetahuan dianggap sebagai entitas destruktif yang melumat nilai dan norma. Bukankah objek pengetahuan hanya mungkin dihidupkan oleh subjek, manusia-manusia yang berakal. Objek pengetahuan apapun akan destruktif manakala itu dipahami secara tertutup, sempit dan terbatas, atau bahkan digunakan sebagai dasar pembenar penindasan.
Keempat, BEM Unram menganggap feminisme hanya berisi wacana “kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi perempuan dalam ‘hal-hal reproduksi nya, orientasi seksualnya’ dan kedudukan dalam keluarga.” Dalam kepala(epistem pengetahuan) BEM Unram, wacana dominan feminisme berkutat pada seksualitas, betapa seksisnya isi ‘kepala’ BEM Unram. Kesetaraan akademis sebagai salah satu aspek yang diperjuangkan feminisme, yakni oleh sosokpahlawan nasional, R.A Kartini luput dari sorot mata dan jangkauan ‘kepala’ BEM Unram. Teramat banyak aspek-aspek lain dari feminisme yang terabaikan oleh BEM Unram, semisal, keterwakilan perempuan dalam legislatif, hak-hak khusus pekerja perempuan. Pembaca barangkali tidak akan sepakat bila wacana dan “buah” feminisme diatas disebut “berbenturan dengan nilai-nilai agama dan norma yang berkembang di Indonesia” sebagaimana yang ditulis BEM Unram.
Terakhir, melalui postingan tersebut, BEM Unram atau kelompok tertentu di dalamnya menyingkap demagogi yang mereka obral secara internal. Lebih dari itu, demagogi tersebut bahkan diobral dengan dalih Tuhan, hal ini tercermin jelas dari klaim BEM Unram yang mempertentangkan antara sila pertama, yakni keTuhanan Yang Maha Esa dengan gerakan feminisme. Bila kita bedah, dalam epistem (kepala) mereka, seolah para pejuang, aktivis dan penggiat feminisme adalah tidak berTuhan, atau setidak-tidaknya menentang Tuhan. Fadli hendaknya menyoal tentang kesalahan yang sama oleh BEM Unram, yang menggunakan interpretasi atas agama untuk melegitimasi represi, alienasi dan inferioritas perempuan, sebagaimana yang terjadi di era Wollstenhome. Fadli yang telah menulis panjang tentangsejarah feminisme tentunya tidak menghendaki prahara yang sama terulang.
Fadli sebagai seorang alumni Unram, yang kini ber-almamater Nicholas Copernicus University Collegium Maiaus, Polandia barangkali bisa dengan enteng menulis “hal-hal semacam ini sebenarnya tidak perlu dianggap terlalu serius” atau “Jangan Marahi BEM Unram” namun dekonstruksi atas postingan BEM Unram yang telahteruraikan diatas lebih dari cukup sebagai dasar untukmenanggapi serius, sinis, atau bahkan memarahi BEM Unram atas postingannya. Mengapa malah menyalahkan penanggapnya? Bukankah BEM UNRAM sendiri yang menyulut tanggapan-tanggapan sinis dan kegaduhan itu.
Melalui komentar-komentar dan berbagai tanggapan sumbang atas postingan tersebut, terkandung kehendak untuk menegaskan bahwa BEM Unram sama sekali tidak mewakili suara keseluruhan civitas akademik Unram. Bahkan, dalam tulisan lain di Media Unram, ada tuduhan bahwa tulisan tersebut mewakili LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Semoga saja tidak benar, sebab jika demikian, adalah berbahaya bila BEM, atau LDK sebagai ruang kemahasiswaan berpretensi fundamentalistis.
Entah wacana apa yang hendak ditawarkan oleh BEM Unram melalui postingannya tentang feminisme, ada seloroh sinis yang terujar di publik, “jangankan wacana, bahkan ruang eksistensi wacana, yakni pikiran barangkali nihil.”
Brutalitas Media Sosial
Kita harus mengakui, bahwa tidak hanya BEM Unram yang hadir dengan argumen dangkal sekaligus absurd tentangfeminisme. Di sisi lain, para “hakim” digital dengan brutal,menghakimi BEM Unram turut keliru sebab hanya menjatuhi penghakiman-penghakiman tanpa sedikitpun menguraikan dasar penghakimannya. Teramat banyak kesimpulan yang diambil tanpa secuilpun argumentasirasional. Seharusnya, sosial media sebagai salah satu ruang publik tidak menjadi gelanggang bagi bar-barisme dan cercaan, tetapi gelanggang bagi “gladiator-gladiator” argumenrasional.
Biarkan argumen-argumen itu dihamparkan di hadapan hakim akal budi atau rasionalitas. Sesungguhnya ada “daya paksa yang tidak memaksa dari argumen yang lebih rasional” sebagaimana tulis Jurgen Habbermas. Bagaimanapun, cercaan dan penghakiman itu kontraproduktif
Kita tidak seharusnya mengutuk remang dengan kegelapan, setidaknya, masih ada cahaya di dalam keremangan.
Peleburan Horizon: Mendudukan Feminisme
Feminisme, sebagaimana juga gerakan supranasional lainnya, sebutlah hak asasi manusia misalnya, hendaknya didudukansebagai suatu horizon. Untuk menjelaskan tentang horizon, uraian Hans-Goerg Gaddamer teramat mencerahkan, “Horizon adalah jangkauan penglihatan (pengetahuan) yang mencakup segala hal yang dapat dilihat dari suatu sudutpandang tertentu. Bila diterapkan pada pemikiran, kita berbicara tentang kesempitan horizon, tentang peleburan horizon, tentang pembukaan horizon baru dst… Seseorang yang tidak mempunya horizon adalah seseorang yang tidak melihat jauh dan karenanya terlalu melebih-lebihkan apa yang paling dekat dengannya”
Postingan BEM Unram tentang feminisme, adalah contoh yang sangat baik dari “Seseorang (kelompok) yang tidak mempunyai horizon” sebagaimana dalam konsepsinya Gaddamer. Ciri utama horizon adalah tidak terisolasi, melainkan terbuka. Selain itu, horizon tidak statis, melainkan dinamis dan terus bergerak.
Bila BEM Unram menyatakan ada perbedaan worldview antara Indonesia dengan akar urat gerakan feminisme, harusnya perbedaan dari kedua horizon tersebut dileburkan. Tiap-tiap horizon memang terikat dengan ke-khas-an kontekshistoris, kultural, sosial, religius dan politisnya. Untuk itu, peleburan dimaksudkan bukan untuk melumat nilai-nilai dan esensi dari tiap-tiap horizon, tetapi untuk meniadakan kesempitan-kesempitan dan menyatukan nilai-nilai ideal dari tiap-tiap horizon. Sehingga dengan demikian, dapat dihasilkan suatu horizon baru yang tidak saling menghegemoni.
Tidak menutup kemungkinan, bahkan dalam wacana feminisme, ada potensi hegemoni kultural (kebudayaan) barat. Sebab feminisme bukanlah sebuah objek pengetahuan yang tidak terikat dengan konteks sejarah atau kultur tertentu. Feminisme memang berakar urat pada konteks kultural tertentu, yakni kebudayaan barat. Untuk itu, pemahaman atas feminisme memang hendaknya didasarkan pada horizon kebudayaan Indonesia yang terbuka dan dapat diperluas. Dengan begitu, feminisme dapat menjadi instrumen pembebas perempuan, yang tidak saling tertutup dan menekan nilai-nilai kultural.
Setidaknya, terlepas dari polemik diatas, kita boleh bersyukur, bahwa berkat postingan tersebut, mahasiswa sekaliber Fadli sampai bersedia membuat tulisan panjang yang mencerahkan tentang historisitas feminisme. Semoga dengan ini, penulis-penulis kaliber lainnya tersulut untuk berlaga dalam gelanggang rasionalitas.