oleh : Lalu Nazir Huda
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram (Unram), sebuah lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan depan suara mahasiswa dalam menyikapi isu-isu krusial bangsa, kini justru terkesan kehilangan arah. Ketika berbagai tragedi dan persoalan besar mengguncang negeri ini, seperti pelanggaran HAM, Peringatan Hari Penghilangan Munir, hingga isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat kecil, BEM Unram memilih bungkam. Sikap diam ini sungguh mencoreng marwah lembaga yang seharusnya menjadi representasi kepedulian mahasiswa terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Yang terlihat sekarang justru BEM yang sibuk mengurus event-event kampus, alih-alih menjadi corong aspirasi mahasiswa dan masyarakat, BEM Unram seperti menjelma menjadi Badan Event Organizer yang hanya fokus menyelenggarakan acara seremonial seperti Unram Festival. Memang, kegiatan semacam itu punya nilai, tetapi apakah pantas jika fokus pada hiburan malah mengesampingkan isu-isu serius yang membutuhkan suara dan aksi nyata?
Diamnya BEM Unram: Bukti Krisis Kepekaan Sosial?
Tragedi Munir adalah simbol perjuangan keadilan yang sampai hari ini masih menggantung tanpa jawaban. Munir adalah cerminan bahwa keadilan di negeri ini butuh pengingat yang terus lantang. Di mana posisi BEM Unram saat peringatan Hari Penghilangan Munir? Mengapa tidak ada langkah konkret seperti kajian publik, diskusi, atau aksi solidaritas yang dilakukan?
Begitu pula dengan isu kenaikan PPN, yang langsung memukul masyarakat kecil. Di mana suara mahasiswa Unram, yang seharusnya menjadi pelopor kesadaran masyarakat terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat? Diamnya BEM Unram menunjukkan krisis kepekaan sosial, seolah-olah isu-isu ini bukan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai wakil mahasiswa dan rakyat.
Mewakili Mahasiswa atau Cuma Menghibur Mahasiswa?
Fokus berlebihan pada acara seperti Unram Festival juga memunculkan pertanyaan serius: Apakah BEM Unram sekarang hanya bertugas menghibur mahasiswa? Peran BEM sebagai motor perubahan sosial dan politik tampaknya sudah luntur, digantikan dengan sibuk menjadi panitia acara yang bahkan kadang tak relevan dengan visi pergerakan mahasiswa.
Mahasiswa butuh lebih dari sekadar festival dan acara seremonial. Mereka butuh representasi yang vokal terhadap persoalan bangsa, yang berani turun ke jalan, berdialog dengan pengambil kebijakan, dan memberi tekanan pada ketidakadilan. BEM yang hanya berfungsi sebagai EO kampus sama saja mengkhianati amanah yang diberikan mahasiswa.
Krisis Identitas: BEM Harus Berbenah
BEM Unram perlu segera melakukan introspeksi mendalam. Kembali ke jati diri sebagai motor penggerak perubahan, bukan sekadar organisasi seremonial. Sebuah pertanyaan penting harus dijawab: Apakah BEM Unram masih layak disebut sebagai “eksekutif” mahasiswa jika hanya diam pada isu-isu strategis bangsa?
Kepemimpinan di BEM Unram harus sadar bahwa suara mahasiswa adalah kekuatan moral yang selalu dinanti oleh masyarakat. Jika suara ini hilang, apa bedanya BEM dengan organisasi hura-hura yang hanya sibuk mempercantik citra lewat acara seremonial?
Jika BEM Unram terus larut dalam krisis identitas ini, maka mahasiswa dan publik harus berani meminta pertanggungjawaban. BEM bukan panggung eksklusif untuk hiburan atau pencitraan. BEM adalah alat perjuangan. Bangkitlah, BEM Unram, sebelum mahasiswa benar-benar muak dan meninggalkan kalian sebagai sekadar kenangan yang gagal dalam perjuangan!