Oleh : Ahmad Sirulhaq
Tidak ada yang abadi, kecuali Wiranto. Begitulah salah satu spanduk dan meme yang viral dalam gelombang aksi mahasiswa hari ini. Jika Anda adalah eksponen demonstran ’98, boleh jadi anak Anda ikut berada di parlemen jalanan hari ini untuk berhadapan dengan musuh bapaknya yang dulu, 21 tahun yang lalu, Wiranto. Demikian kira-kira pesan yang ingin disampaikan mahasiswa dalam meme itu.
Tapi, yang menarik dari aksi hari ini bukanlah soal keabadian atau bukan abadi, tapi bagaimana mahasiswa yang selama ini dituduh hilang dari jalanan, tiba-tiba keluar dari oroknya dan mengobarkan api perlawanan pada pemerintah sekaligus oposisi, dengan cara yang berbeda pada pendahulunya: aksi bukan melulu soal strategi dan tragedi, tapi ia bisa saja tentang komedi dan juga parodi. Serta, dari pengalaman ini, kita bisa belajar banyak.
Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya, kata orang-orang. Jika hari ini mahasiswa menemukan masanya, sudah barang tentu karena merekalah orangnya, bukan kita, bukan siapa-siapa yang lain. “Tapi, ini adalah orang yang sama yang suka menumpang dalam kegelapan, Bung,” celoteh nyinyir orang-orang yang kemudian berseliweran sana-sini, “mereka tak lebih dari para bandit yang ditunggangi kepentingan khilafah yang hendak merongrong kekuasaan yang sah”. Sebentar!
Bagaimana bisa penunggang menunggangi dirinya, jika pemerintah koalisi dan juga oposisi bersanding begitu mesra di suatu tepi di peron MRT, tidak begitu lama setelah pengibaran bendera putih “pascaperang-dingin” yang diakhiri oleh palu godam MK di atas sidang pemilu presiden 2019 itu?. Semangkok “nasi goreng mejik” buatan Megawati yang tesaji manis pada Macan Tropis yang selama ini dipuja, bukan hanya melumpuhkan segalanya, tapi juga bisa bercerita banyak hal tentang kredo-kredo lawas dalam politik: tak ada musuh dan kawan abadi; hanya kepentinganlah yang abadi; hari ini, kredo itu bertambah satu: hanya Wiranto yang abadi, selainnya tidak.
Lagi pula, kecuali Berita Satu yang langsung menembakkan jarum framing pada “Gejayan Memanggil” agar roda perlawanan itu segera gembos, media-media mainstream yang lain, mencoba lebih bijak dalam mencari angle dan narasumber untuk menu berita aksinya kali ini. Sekelas Jakarta Post pun tidak terlihat tergoda untuk membingkai aksi hari ini bahwa di belakang semua ini banyak alumni Monas(h) (University).
Di NTB, salah satu media tak sabar melihat mahasiswa untuk berbaris di Udayana, hinggga menurunkan berita yang langsung mengecoh dengan menulis judul berita “Mahasiswa Indonesia Kompak Demo Tolak RUU KUHP, Unram Demo Minta AC dan Wi-fi”. Tak lama, viral di medsos, “Mahasiswa Unram, Hari Kamis (26/09/2019) Kuliah di Udayana”. Rektor bergeming: lebih baik diskusi ketimbang aksi, kami siap memfasilitasi. Apa daya, mahasiswa sudah terlanjur sakit hati.
Kalau begitu, apakah yang mempersatukan mahasiswa? Apakah harim-harim kece dan ukhti-ukhti cantik itu?
Baiklah!. Aku cerita sedikit. Dulu, setidaknya aku pernah berada di tengah barisan para demonstran, takut di depan, tak bisa beretorika, aku bukan orator. Tapi jika disuruh berpuisi, aku hobi. Jangan salah, selain kubaca pada aksi demonstrasi, puisi adalah satu-satunya senjataku untuk menundukkan perasaan perempuan pujaan hati.
Pernah juga, tengah malam kawan-kawan singa jalanan dari organ mahasiswa lain membangunkanku malam-malam di sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa. Di atas gedung yang sekarang ini banyak diisi anak-anak marching band itu, mereka bilang kau harus jadi sutradara aksi esok hari, ada Megawati yang mau datang di hotel Grand Legi.
Dari pengalaman yang sedikit itu, sedikit yang kutahu dari aksi demonstran ialah, setidaknya waktu itu, mungkin juga sampai hari ini, jangan terlalu banyak berdrama dan bercerita, simpanlah itu jika momentumnya sudah tepat. Presiden mau datang, apalagi yang harus ditunggu?, mari bersuara! Waktu itu, aku sendiri tidak tahu apa yang menjadi kesalahan presiden, selain menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Tarif Dasar Telephon (TDT), kalau aku tidak keliru. Sebagai mahasiswa, kebijakan itu kuanggap dosa. Lalu, yang benar bagaimana? Yang benar ya jangan naik, jangan terlalu berfilsafat.
Singkatnya, mahasiswa punya standar moral tersendiri. Patokannya jika bukan Soe Hok Gie, ya Che Guevara. “Jika hatimu bergetar melihat ketidakadilan, maka kita adalah saudara, kawan”; “Tunduk tertindas, atau maju melawan, ya adalah ya, tidak adalah tidak, karena ragu-ragu adalah penghianatan.” Standar moralnya cukup terang, walaupun itu-itu saja. Aku sendiri punya jargon perlawanan favorit sendiri waktu itu – yang kutulis di belakang kaosku sebagai baju resmi panitia sembilan perancang Pemilu Raya mahasiswa Unram sistem kepartaian – “Aku bukan peluru dengan bedil, aku adalah kata-kata dan pena, berbicara atas nama cinta dan juga ayat-ayat Tuhan”. So, begitulah! Jangan terlalu banyak cerita.
Maka, jika ada gelagat yang tidak beres dari pemerintah dan juga legislatif, hati seorang mahasiswa jalanan akan lebih mudah menangkap aroma tak sedap daripada otak laboratoran yang terus berada di laboratorium penguji. Empati lebih mudah menggerakkan kaki daripada narasi. Apa boleh buat. Itulah mahasiswa itu, ia nyata, jas almamater dan benderanya juga terang sekalipun tidak pernah dicuci, bukan jas almamater grosiran tak bermerek yang sekali pakai langsung dikumpulkan kembali di hari itu lalu dibawa langsung ke laundry. Jadi, maklumi saja, tatkala Yasonna menembak langsung para ketua BEM di acara ILC, retorika mahasiswa itu terkesan kurang rapi, tapi empatinya mudah diresapi. Lagipula, tidak mudah mendebat para pejabat politisi yang sudah berkarat dan mendapat “kartu pe-en-es” di senayan.
Oh, satu lagi. Sampai sejauh ini, jika dibaca secara cermat, kita tidak melihat ada tendensi untuk menurunkan presiden. Dari parameter ini saja, mereka masih “on the track”. Lalu, mengapa mereka begitu marah? Bukankah RUU KUHP, yang di antaranya mengatur tentang gelandangan dan selangkangan, tidak jauh-jauh amat dari KUHP buatan kolonial itu? Bukankah pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden juga tidak jauh-jauh amat dari UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama baik? Di samping itu, bukankah presiden sudah berkata dengan cukup jelas, RUU KUHP ditunda untuk sementara waktu, untuk dilimpahkan pembahasannya pada periode DPR selanjutnya? Sek-sek.
Kawan, aku mau tanya: apakah kau punya ayam?, pastikan ia terus berada di dalam kandangnya, bila perlu kasi ia peringatan jauh-jauh hari sebelumnya, sebelum RUU KUHP disahkan, jangan sampai ayammu ceroboh keluar jalan-jalan ke pekarangan orang, apalagi pada saat kau tidak sedang punya uang. Satu lagi pesanku, jika kau sudah menikah, jangan suka memperkosa istri biarpun kebelet sekali!. Titik. Yah, undang-undang semacam ini terasa lebih nusantara(is) ketimbang undang-undang gaya kolonial. Itu sudah ketinggalan zaman, HAM melarangnya.
Tapi, amarah itu tidak hanya datang dari RUU KUHP, bahkan lebih dalam lagi, tentang RUU KPK yang telah disahkan dengan cara terburu, mahasiswa sepertinya menyimpan dendam karena telah kecolongan. “Kau diam, maka RUU KPK kusahkan,”; “Kau berteriak, maka RUU KUHP kutunda sementara,” kira-kira filosofinya begitu. Maka, hari ini, kita menyaksikan mahasiswa melawannya. Diamnya mahasiswa selama ini, ternyata tak lebih menggetarkan daripada nyaringnya suara Fahri di ILC. Mereka bangkit, dan anak-anak SMK pun menguntit.
Selebihnya, banyak palajaran sebenarnya yang bisa dipetik dari sebuah aksi, lebih-lebih pada aksi kali ini. Di antaranya, selain tentang mahasiswa yang lebih memakai perasaan (empatinya) daripada akalnya tadi, juga tentang aksi gaya millenial yang berhasil menarik banyak simpati.
Kalau tidak percaya, baca saja panflet di aksi-aksi itu: “Jangan Matikan Keadilan, Matikan Saja Mantanku”; “Cukup Cintaku yang Kandas, KPK Jangan”; “Itu DPR Apa Lagunya Rossa, Kok Tega, Perempuan Bukan Milik Pemeritnah”; “Kirain Hubungan Kita Aja yang Gak Jelas, DPR Lebih Gak Jelas”; “I Have Seen the Smarter Cabinet in IKEA.” Bagaimana perasaanmu, kawan, apakah kau masih mati rasa?
Jadi, lebih dari sekadar cara ekspresi perasaan, jenis aksi kali ini telah melampaui gaya aksi senior-senior mereka terdahulu, yang tidak begitu mempertimbangkan aspek rasa dan selera, ‘taste’. Sebab, jangan salah, kekuasaan yang otoriter itu tragedi. Untuk melawannya, selain dengan strategi dan aksi, perlu sedikit komedi. Supaya, selain mereka hanya bisa terus menertawakan kita, sesekali mereka juga bisa menertawakan diri sendiri.
Dari tragedi ke tragedi, dari komedi ke komedi, saya hanya ingin mengatakan pada mahasiswa, kalian benar: “demokrasi telah dikorupsi”. Nasib terbaik adalah mereka yang tidak pernah terlahir sama sekali, kata Gie. Bahkan, Dewa Yunani pun sesekali cemburu pada manusia, justru karena manusia itu fana, kata Achilles pada kekasih rampasan perangnya. Jadi, mau abadi atau tidak, seperti Wiranto, itu bukan soal. Mau jadi pahlawan atau tidak, seperti Fahri dan Fadli, itu tidak penting. Mau dikenang atau tidak, seperti Budiman dan Adian, jangan baperan, sebab di tengah-tengah tragedi dan komedi, selalu ada parodi.
Lihat saja nanti, atau hari ini. Hanya persoalan waktu, sejarah akan mencatat apa saja, termasuk akan mencatat hari ini, siapa-siapa yang pahlawan dan siapa-siapa yang pecundang. Lagi pula, apa gunanya jadi pahlawan jika ada jenis nasib terbaik yang lain, selain tidak pernah terlahir sama sekali – yaitu tidak terlahir seperti mereka-mereka yang jadi pahlawan kemudian diberikan keberkahan umur yang cukup panjang, hanya untuk menyaksikan dirinya yang masih gagah berdiri, yang dalam tempo dua puluh satu tahun lebih beberapa hari sejak reformasi, segera berubah menjadi bandit yang cukup disegani.
*Mantan_demonstran_baris_tengah