“Oleh: Rahayu Praya Ningsih”
Hari ini untuk pertama kalinya, aku merasa hidupku ingin segera aku akhiri. Awan pekat itu dengan kejam menyergapku, tanpa peduli aku sudah siap atau tidak. Impianku, cita-citaku dan segala mimpi indah berakhir sudah. Sebuah pengkhianatan sadis telah berlaku dalam sejarah hidup keluargaku.
“Lelaki macam apa kau Mas! Apa kami tidak cukup bagimu! Aku dan Aila setiap hari menunggumu pulang kerja dengan sabar dan setia, tapi lihat kelakuanmu! Dasar lelaki bajingan!” teriak Ibuku dengan amat geram.
Nafasku sudah hampir tidak bersisa, amat pedih mendengar pertengkaran itu. Bersembunyi dibalik selimut, menangis terisak-isak. Hingga lemas dan lemah tubuhku. Belum pernah aku merasakan derita sepahit ini dalam hidupku. Aku, anak sepuluh tahun dengan jelas mendengar setiap kata dan amukan orangtuaku. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan terhadap anak kecil sepertiku sehingga empedu ini aku telan mentah-mentah.
Laki-laki yang ku sebut Ayah, telah meruntuhkan bangunan cinta yang selama ini berdiri kokoh. Pengkhianatannya menghancurkan kesetiaanku dan Ibuku. Tanpa merasa bersalah sama sekali, malamnya ia pulang dengan kabar duka. Membawa wanita paruh baya dengan bayi digendongannya. Mulanya Ibuku hanya mengira dia kawan atau rekan kerja dari Ayahku, tetapi itu hanya pikiran semu. Ayahku telah menikahi wanita jalang itu sejak dua bulan yang lalu. Wanita itu sebatang kara, ditinggal mati suami pertamanya lantas merengek kepada Ayahku untuk menghidupinya. Alasannya juga karena ia baru saja di PHK dari kantornya dan bayinya masih perlu banyak biaya untuk tetap hidup. Entah bagaimana Ayahku mengenal wanita itu, yang jelas aku sudah menancapkan kebencian kepadanya dan juga bayinya.
“Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku, tapi aku minta satu hal, tolong terima dia dan bayinya,” pinta Ayahku.
“Pergi kau! Aku tidak sudi menampung lelaki bajingan dan wanita jalang dirumahku! Cuihh!” bentak Ibuku.
Mana mungkin Ibuku mau menerima perempuan itu. Akupun tidak akan pernah memanggil wanita itu Ibu, tidak akan pernah. Diusiaku yang masih kecil, Ayah sudah mengajariku menjadi gadis pendendam sejati.
***
Esoknya lagi-lagi aku mendapati kejutan pahit dari penghianat itu. Ibuku mendapati bayi yang ada digendongan wanita jalang itu semalam, kini sudah berada di depan pintu rumahku. Bayi itu diletakkan dalam keranjang kecil berselimut biru muda, dan di sela-sela selimut itu terselip sepucuk surat. Entah pukul berapa mereka kembali kerumahku malam itu. Yang aku tahu sekarang bayi itu adalah adik tiriku.
“Aila sayang ayo kamu segera berangkat sekolah, nanti telat ,” ucap Ibuku. Sebenarnya aku ingin menanyakan apa isi surat itu, untuk seusiaku wajar saja jika aku selalu ingin tahu perihal yang terjadi di sekitarku. Namun aku tidak punya waktu mengurusinya, karena sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup. Mungkin lain waktu bisa kutanyakan pada Ibu.
Pergi ke sekolah dengan hampa semangat dan impian yang padam. Ibuku juga tampak tidak begitu bergairah ketika aku menyalaminya, hanya segaris senyum tipis menghantar kepergianku. “Hati-hati dijalan sayang,” sahut Ibuku ketika aku baru saja keluar dari gerbang rumah.
Sesampainya di sekolah, sungguh semua hal berubah drastis dalam pandanganku. Semua terlihat mendung, bahkan terik matahari terasa sedingin kabut malam bagiku. Berteman sudah tidak menarik lagi, ikut lomba sudah tidak lagi aku lakukan. “Untuk apa?, toh juga tidak ada yang bangga,” batinku. Semangat untuk berprestasi sudah mati, tidak ada yang tersisa. Demikian hari-hariku berlanjut dengan hambar sampai seterusnya.
***
“Ngapain sih Ibu belain dia terus! Dia yang salah! Sengaja ngejatuhin vas bunga terus pura-pura luka!” bentakku.
“Sudahlah Aila, maafkan adikmu, lantainya sedang licin habis Ibu pel tadi makanya vas bunganya jadi jatuh, jadi dia emang ga sengaja,” ujar Ibuku membela.
“Alah! Dia aja yang lemah dan ceroboh! Lama-lama semua barang di rumah ini bisa pecah gara-gara dia!” sahutku dengan emosi memuncak.
“Tenang Aila, adikmu…”
“Ah! Sudahlah! Terserah Ibu! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap dia adikku, jadi jangan harap aku berbaik hati padanya,” ucapku sambil pergi ke kamar lalu mengunci pintu.
Selama tujuh tahun ini aku seakan-akan hidup di neraka. Setiap hari harus melihat bocah sial itu, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Setiap kali bocah itu ada, kilatan memori pahit itupun kembali datang. Semakin menumbuhkan dendam dan kebencian kepada para penghianat itu. Berusaha menganggap kalau kehidupan kami bahagia, aku dan Ibuku serta adik tiriku. Namun tidak pernah satu hari pun hidupku menyenangkan, semenjak malam dimana Ayah membawa wanita dan bayinya itu kerumah.
Alangkah tidak sudinya aku sekalipun memanggilnya adik. “Bocah itu pembawa sial!” ujarku amat kesal.
Tapi entah mengapa Ibuku bersikap lunak padanya. Selama bertahun-tahun Ibu dengan sudi merawatnya, mencukupi kebutuhannya bahkan menyekolahkannya di SD tempatku dulu. Aku tidak tahu apa yang membuat Ibu mau menerima kehadirannya. Akupun tidak pernah menanyakannya, terlalu sibuk mengurusi kebencianku kepada sosok Ayah dan wanita jalang itu. Akupun juga mulai menjaga jarak dari Ibuku dan bocah itu, sibuk dengan duniaku sendiri hingga aku beranjak remaja.
***
Siang itu aku baru saja ingin menikmati tontonan televisi sambil menyilang kaki. Berharap ada yang bisa sedikit menghiburku setelah bosan berada di kamar. “Kakak, ini aku bawain kue bolu pandan kesukaan kakak, aku dan Ibu yang bikin tadi,” ujar bocah itu yang tiba-tiba menghampiriku. Aku terkejut ketika ia hendak menyodorkan bolu itu ke arahku. “Aku kasih kakak potongan yang paling besar biar kakak senang, hehe…” lanjutnya.
“Tidak usah! Aku sedang tidak nafsu makan,” ketusku. Bersikap sok manis dihadapanku tidak akan membuatku melupakan apa yang sudah terjadi. “Makan aja sana sendiri, tidak usah sok baik deh! Dasar bocah pembawa sial!” hardikku sambil berlalu meninggalkannya. Hilang sudah keinginanku untuk menonton tv, berbicara dengan bocah itu hanya membuat rasa bosanku kian meradang.
Nampaknya Ibu mendengar perkataanku. Kalimat kasar yang keluar dariku mungkin membuatnya merasa iba kepada bocah itu. Sayup-sayup dari dalam kamar kudengar Ibu mencoba menenangkan tangisan bocah itu. “Aku tidak peduli!” desisku.
“Aila sayang, buka pintunya nak, Ibu mau bicara sama kamu,” ucap Ibuku sambil mengetuk pintu kamar.
“Aku sedang sibuk Bu, lain kali aja,” sahutku dari dalam kamar. Yang benar saja, mana mungkin aku akan mau mendengar perkataan Ibuku yang hanya akan melontarkan pembelaan untuk bocah itu. Aku sebenarnya tidak sibuk, sama sekali. Hanya merebahkan diri dikasur sambil terus membayangi kejadian tujuh tahun lalu yang amat drastis mengubahku dan hidupku. Aku tidak peduli bagaimana keadaan penghianat itu. Dia sudah lama menghilang dari kehidupanku, tanpa kabar sama sekali. Masih hidup atau sudah mati, entahlah. Tidak penting bagiku.
***
“Jangan lupa besok Ibu datang ke upacara kelulusanku,” ujarku singkat. Sungguh malas sebenarnya untuk datang ke acara semacam itu, terlebih harus mengundang wali murid. Jika hari itu bisa kutinggalkan, maka pasti aku tidak perlu untuk meminta Ibuku untuk hadir. Namun sayangnya itu merupakan hari terakhirku menjadi siswi SMA. Aku juga tidak menyangka akan bisa bertahan selama itu, mengingat aku yang sudah putus asa akan makna dari hidup.
“Iya sayang, Ibu pasti datang untukmu,” balasnya.
“Tapi aku minta Ibu datangnya belakangan, aku berangkatnya sendiri aja,” ujarku. Lebih tenang rasanya kalau aku sendiri yang datang lebih dulu ketimbang harus datang bersamaan dengan Ibu dan bocah itu.
“Wah! Kak Aila sudah mau lulus SMA, bentar lagi kuliah terus wisuda terus nikah deh, hehe..” sahut bocah itu.
Mendengar kalimat itu keluar dari mulut bocah itu, seperti ada yang menusuk dadaku. Menghunus tepat di ulu hatiku, hingga rasanya emosiku mencuat. Terlebih dengan kata-kata menikah dan segala impian yang pernah aku bayangkan, ketika masih memilikinya dulu. “Sok tau! Kamu tuh ga tau apa-apa soal aku, jadi jangan coba-coba buat ngatur hidupku!” bentakku lalu pergi meninggalkan Ibu dan bocah itu yang masih duduk di sofa ruang tamu.
***
Keesokannya aku sudah siap-siap berangkat ke sekolah untuk terakhir kalinya. Mengenakan kebaya hijau muda lengkap dengan sanggulnya yang aku pinjam dari kenalanku. Untung saja dia mau berbaik hati meminjamkan miliknya, mengingat bahwa aku tidak pernah berpikir untuk menyiapkan hal-hal seperti ini.
“Bu, nanti Ibu langsung saja ke kursi para wali murid disana, tidak usah mencariku,” ucapku lalu segera berangkat menuju sekolah.
***
Sesampainya di sekolah aku lansung menuju kursi para siswa. Tanpa mau berbicara dengan orang lain disana ataupun hanya sekedar bertegur sapa. Aku berharap acara ini tidak berlansung lama agar aku segera bisa mengakhiri masa-masaku di SMA.
Hingga di penghujung acara, aku sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti rangkaian yang ada. Hanya sekedar mengikuti instruksi dari pemandu acara saja. Pada saat sesi penyampaian kata-kata perpisahan, akupun tidak merasa sedih sama sekali. Tidak ada air mata yang keluar atau isak tangis yang terdengar. Benar-benar tidak ada.
Mengenai Ibuku, aku tidak tahu ia benar-benar datang atau tidak. Mengundang para wali sebenarnya hanya sebagai formalitas saja. Akupun tidak terlalu memikirkan hal itu. Sampai akhirnya acara telah benar-benar selesai dan kami telah dibubarkan. Teman-temanku yang lain sibuk berfoto dengan orangtua mereka, merayakan kelulusannya. Ada juga yang sedang berfoto bersama teman satu gengnya di depan photo boot yang sengaja dipampang di area upacara. Tidak ada rasa iri bagiku. Aku menghabiskan masa SMA-ku dengan amat biasa-biasa saja. Tidak ada kawan dan sahabat yang aku tangisi. Aku lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah.
***
Aku mendapati rumah dalam keadaan sepi. Padahal aku mengira Ibu sudah lebih dulu sampai di rumah. Hingga malam tiba, belum ada tanda-tanda kepulangan Ibuku. Ada rasa cemas yang mendatangiku, sebab walau bagaimanpun juga dia tetaplah Ibuku. Bertanya ke tetangga sekitar rumah mengenai keberadaan Ibuku, atau paling tidak mereka pernah melihat Ibuku berada dimana.
“Bapak ndak tau nak,” ujar Bapak yang rumahnya berada di samping rumahku.
“Aku ndak pernah lihat Ibumu seharian ini,” ujar gadis yang rumahnya berada di seberang jalan rumahku.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Masuk ke dalam kamar Ibuku. Terkunci. Lantas segera aku dobrak pintu itu, namun tenagaku belum cukup kuat untuk membukanya. Aku berinisiatif mengambil linggis yang ada di dapur, lalu dengan sekuat tenaga aku hantam pintu itu hingga engselnya lepas dan akhirnya terbuka. Namun yang kutemukan nihil. Aku mengamati sekeliling, tidak ada yang aneh. Sampai akhirnya pandanganku tertuju pada dua lembar surat di atas meja rias Ibuku.
Istriku tersayang,
Aku tidak memintamu untuk memaafkanku, juga tidak memintamu untuk mengikhlaskan madumu. Jangan anggap aku tidak mencintaimu. Kamu dan Aila adalah hartaku yang paling berharga. Tapi yang aku minta adalah tolong terima bayi ini, rawat dan sayangi dia seperti kau menyayangi dan merawat Aila, putri kecil kita. Ini adalah permohonan terakhirku dan Ibu dari bayi ini. Ibunya sebatang kara, dan hampir mencapai batas usianya karena penyakitnya.
Kami akan pergi ke dunia yang kau dan Aila belum pernah kunjungi. Namun Aila pasti akan membenciku, mendendam pada Ayahnya. Tapi aku percaya suatu saat nanti dia akan mengerti dan bisa menyayangi Aisya seperti adik kandungnya sendiri.
Selamat tinggal sayangku,
Aku tunggu hadirmu dalam keabadianku.
Bergetar hatiku membaca isi surat itu. Surat yang dahulu aku penasaran akan apa isinya, namun entah kenapa aku terlupa untuk menanyakannya kepada Ibu waktu itu. Surat yang ditulis oleh Ayahku, orang selama bertahun-tahun sudah memberiku keahlian menjadi seorang pendendam. Membuatku amat fasih mematikan hati dari perasaan sayang dan cinta kepada orang lain.
Sementara itu, pandanganku juga teralihkan ke lembar surat yang kedua. Pada pojok kirinya tertulis namaku,
Aila putriku sayang,
Maafkan Ibu Nak, Ibu hanya hadir sebentar, sekedar melihatmu untuk terakhir kalinya. Kamu sungguh cantik dan anggun mengenakan kebaya itu Nak.
Maaf Ibu harus segera pergi menyusul Ayahmu. Sakit yang Ibu derita biarlah Ibu saja yang tahu, kamu cukup bahagia saja.
Tolong kamu jaga adikmu, Aisya. Sayangi dia, sebab dia amat bahagia memiliki Kakak sepertimu.
Ibu menitipkan dia di sebuah Panti Asuhan untuk nanti sepulangmu dari sekolah, kamu bisa menemuinya. Segala kebutuhan hidupmu dan Aisya sudah Ibu siapkan Nak.
Ibu mencintaimu, dan akan selalu begitu.
Membaca kedua surat itu, membuat perasaan yang semulanya mati dan tidak bisa merasakan hangatnya kasih dan curahan cinta perlahan mulai hidup. Tanpa kusadari air mataku mengalir deras seketika. Kebencian yang selama ini tertanam kuat dan kokoh akhirnya hancur lebur. Kepedihan dari penghianatan sadis kini berganti menjadi tangisan kerinduan. Ibuku dan adikku, aku ingin memeluk erat mereka. Mendekap mereka dengan segenap hati sambil berkata aku mencintai kalian. Tapi kini, keluargaku yang tersisa hanyalah adik kecilku. Ayahku, Ibuku, dan Ibu tiriku sudah memberiku kasih sayang yang bahkan tidak aku tahu. Betapa bodohnya aku sehingga aku tidak bisa membaca bagaimana curahan kasih yang selama ini mereka berikan. Sungguh kejam perbuatanku kepada adik kecilku yang bahkan tidak pernah menaruh dendam sedikitpun kepadaku.
Cucuran air mata kini telah membasahi jiwa yang penuh dendam. Semuanya sirna, tidak bersisa. “Oh Tuhan! Dimanakah adikku sekarang?” jeritku dalam tangisan. “Apa yang sudah aku lakukan? Sungguh buta dan batunya hatiku sehingga tidak melihat kasih sayang mereka selama ini!” ujarku dalam kepedihan yang amat sangat.
Tanpa basa-basi lagi malam itu juga aku pergi mencari alamat dari Panti Asuhan yang Ibu maksud disurat itu. Bertanya ke sana-sini, naik-turun angkot demi menemukan Panti itu. Demi menemukan keluargaku.
***
Pukul 04.00 dini hari, aku akhirnya menemukan keberadaan lokasi dari Panti Asuhan tersebut. Setelah berjam-jam diperjalanan, sendirian mencari angkutan umum yang masih menyediakan jasa dan berbekal sebuah kartu bertuliskan alamat panti beserta kartu ATM yang Ibu selipkan di antara lembaran surat.
Memasuki halaman Panti Asuhan, aku lansung mencari seseorang yang berada disana, entah itu anak panti ataupun pengasuhnya. Beruntung aku mendapati penjaganya yang sedang duduk di teras panti sambil meminum secangkir kopi yang tinggal setengahnya.
Panjang lebar aku menjelaskan maksud kedatanganku kepada pejaga itu. “Sebentar ya Mbak, saya panggilkan penanggung jawab dari panti ini dulu,” ujar penjaga panti itu. Tidak berselang lama, orang yang dimaksud si penjaga itupun keluar sambil memakai sarung dengan kupluk hitam dikepalanya.
Baru saja aku ingin membuka mulut memberikan penjelasan. Namun, lansung saja aku dibantu penjaga panti itu menjelaskan maksud kedatanganku. Penjaga itu mengatakan persis seperti apa yang aku ceritakan kepadanya.
“Memang benar tadi pagi ada anak yang dititipkan di Panti ini, kalau anda mau mari saya antarkan ke kamar anak-anak untuk memastikannya,” ujar lelaki paruh baya itu.
Aku diajak menyusuri lorong Panti mencari kamar tempat adikku berada. Aku melihat ada dua lorong yang dihubungkan oleh satu ruang yang cukup luas. “Mungkin sebagai ruang kumpul atau ruang tamu,” pikirku.
“Silahkan anda masuk, adik kecil itu berada di dalam, mungkin sekarang masih tidur,” ucap lelaki itu. Dengan segera aku memasuki kamar itu, mataku sibuk mencari wajah adikku di antara anak-anak yang sedang tertidur pulas itu. Ada sekitar tujuh orang anak didalamnya yang tidur di atas ranjang bersusun. Sebanyak tiga buah ranjang bersusun yang kulihat disana.
Lalu pandanganku terhenti tatkala melihat seorang gadis kecil yang selimutnya hanya sampai perut tengah tertidur dengan lelapnya. Lansung saja aku menghamburkan diri memeluk adik kecilku.
“Kak Aila, kenapa Kakak disini?” ujarnya yang masih setengah sadar. Dia mungkin terkejut melihatku yang tiba-tiba datang memeluknya, namun kantuk masih saja menggantung di kelopak matanya.
“Kakak kesini mau jemput kamu pulang,” lirihku pelan.
“Tapi Kakak ga sayang sama Aisya, kan?” jawabnya dengan begitu polos.
“Maaf-kan Ka-kak, udah berbuat ja-hat sa-ma Aisya, Ka-kak janji ga ba-kal gi-tu lagi sa-ma Aisya,” ujarku sesenggukan dengan air mata mengalir deras. Begitu menyayat hati takkala aku mengatakan hal itu sambil terngiang bagaimana kelakuanku kepada adik kecilku ini. “Ka-kak sa-yang banget sa-ma Aisya, Kakak a-kan selalu sa-yang sa-ma Aisya sampai kapanpun,” ucapku sambil memeluknya dengan hangat.
“Aisya juga sayang Kak Aila,” balasnya.
“Sekarang, ayo kita pulang,” ujarku kepada adikku, Aisya.