Oleh : rahmat (mahasiswa fakultas teknik)
Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan berita kasus pelecehan seksual oleh oknum Dosen terhadap perilaku pelecehan terhadap Mahasiswa di kampus Negeri Universitas Mataram.
Fenomena tindakan pelecehan seksual di kampus masih menjadi isu yang memprihatinkan. Kasus-kasus seperti ini bagaikan benalu yang menggerogoti nilai-nilai luhur akademik dan menciptakan rasa tidak aman bagi para mahasiswi.
Di Universitas Mataram sendiri kasus pelecehan tidak hanya terjadi di tahun 2024, melainkan tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi dan sampai belum ada kejelasan dari pihak kampus. Sejauh ini Rektor (ba) belum mampu menyelesaikan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya jawab sebagai orang nomor satu di Universitas Mataram.
Predikat yang diembat oleh Universitas Mataram menjadi kampus terbaik, justru paradoks dengan apa yang terjadi di Universitas Mataram sendiri. Bagaimana tidak, di tahun 2024 juga berbagai polemik pemberitaan yang lalu-lalang dan muncul di media massa terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen Fakultas Pertanian terhadap mahasiswinya, tidak hanya terhadap mahasiswi juga aksi bejat oknum dosen, melainkan juga pada alumni hingga rekan sesama dosen.
Kampus yang sepatutnya menjadi ruang didik yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh Civitasnya untuk mengenyam nalar dan intelektualitas keilmuan, Justru menjadi tempat ternak oknum Cabul.
Hal ini mesti dievaluasi Oleh pihak kampus Unram. Satuan tugas penangan kekerasan seksual SATGAS PPKS Mesti instens dan independen dengan mengawal korban dalam bentuk keseriusan dalam penangan kasus yang di alami korban. Dan membantu si korban atas kasusnya ke Aparat Penegak Hukum APH dan memberikan efek jerah kepada pelaku.
Menurut data dari Kemen Pemberdayaan Perempuan PPAA per April 2024, terjadi 2.681 kasus kekerasan seksual dilingkungan Perguruan tinggi. Dari data tersebut Mengindikasikan banyaknya oknum predator-predator seksual yang berkeliaran dilingkuangan kampus yang beberapa pelakunya dari kalangan terdidik yang banyak menggunakan gelar akademik.
Namun data dari jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual diatas, hal ini bisa berpontensi bertambah mengingat banyaknya korban yang masih takut dan ragu-ragu untuk melakukan Speak up atas perisistiwa yang dialaminya, karena konsekuensi yang di hadapi sangat berat bagi korban.
PPKS yang diharapkan sebagai Lokomotif penggerak untuk memerangi kejahatan Seksual dinodai dengan beberapa pemberitaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Civitas akademik, Fenomena ini seakan menjadi belenggu bagi kampus untuk menciptakan lingkungan aman dan nyaman bagi
seluruh Civitasnya.
Kampus yang diharapkan punya gerakan responsif dan inklusif untuk mencegah serta menangani isu pelecehan seksual, terkesan lamban. Karena isu tersebut seakan menjadi aib bagi kampus untuk menjaga Citra Universitas.
Lalu apa gerakan miniatur kampus?
Masih abu-abu gerakan yang di digadang-gadang sebagai lembaga yang punya kapabilitas untuk menyerap aspirasi dan gerakan justru menutup diri, introvert.
Turut berduka cita Lembaga sekarang lebih penting menambah pencitraanya sebagai kordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Se – Indonesia (BEM SI) sedangkan dapurnya kotor.
Lembaga kemahasiswaan internal kampus mesti membuka mata, bukan acuh tak acuh dengan problematik yang ada.