26.9 C
Mataram
Tuesday, March 25, 2025
spot_img

Demokrasi Penindasan, Panca: Kritik, Sila: Kelalaian. 1-Oktober- 2022

Oleh: Aris Munandar

SALUS POPULI SUPREMALEX (kepentingan masyarakat adalah hukum tertinggi). Kehampaan penguasa memanipulasi Pancasila hanya sebagai tameng dan senjata untuk melawan, membungkam, dan mengeliminasi orang-orang yang dianggap menjadi musuh-musuh yang membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah. konsumerisme yang telah menimbulkan berbagai kesenjangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi-politik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Reformasi berjalan tanpa tuntunan ideologis, tindakan negara dan penguasa hanya mendasarkan pada ide-ide rasionalisme liberal yang implementasinya berdampak paradoksal negatif. Gerakan reformasi merupakan akumulasi dan kulminasi atas kritik dan berbagai ketidakpuasan terhadap kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang dipahami sebagai akibat ulah penguasa.

Kepongahan adalah watak hasil konstruksi penjajahan. dalam perspektif struktural, Indonesia selalu terjajah baik secara ekonomi, maupun sosial dan politik. Sumber daya alam kita dikeruk, dijarah, dijajah tanpa tiding aling-aling Inlanderisme menjelma sebagai “korupsi sejak dalam pikiran”. Karena hal ini penyakit watak, kebudayaan dan pola pikir yang sulit diobati. Pada sistem dan struktur pemerintahan, tidak ada satu wilayah pun republik ini yang bebas dari korupsi. Semua penguasa, identik sebagai koruptor. Menengok dari lain sisi, kemiskinan seperti kanker stadium akhir, yang mustahil untuk disembuhkan kecuali dibiarkan mati.

Sistem demokrasi digadang-gadang sebagai sistem terbaik yang menjanjikan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Seolah-olah tidak ada sistem apapun di dunia ini kecuali sistem demokrasi. Namun faktanya, kedaulatan ditangan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat) serta trias politik (legislatif, yudikatif dan eksekutif) yang diusung demokrasi hanya pepesan kosong belaka. Demokrasi hadir bukan untuk mengurusi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Melainkan untuk melayani kepentingan kapital.

Semua ini terbukti dengan lahirnya rezim dengan karakter represif yang sedang berlangsung saat ini.

Pemerintahan rezim Jokowi sepertinya mengalami fobia pada kata-kata yang mengarah pada impeachment, pemaksulan, atau pemberhentian. Hal ini sangat jelas terlihat dari tindakan yang hipersensitif, kepada mereka, baik individu maupun lembaga yang dinilai membahayakan status quo rezim hari ini. Penangkapan, pembubaran sampai tuduhan makar dilakukan untuk menghilangkan segala kemungkinan yang dinilai beresiko terhadap keberlangsungan kekuasaan mereka di negeri ini.

Rezim represif menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Di dalam sistem sekuler, penguasa menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Penguasa akan berusaha melanggengkan kekuasaan. Untuk maksud itu berbagai cara ditempuh, termasuk undang-undang yang mengatur masa jabatan. Konsep trias politika tidak lagi diindahkan.

Dunia akademik dan nalar rasional kaum akademisi beberapa hari ini dirundung duka, seakan tidak percaya, sebagaimana kita ketahui bersama rezim orde baru yang dinilai otoriter telah tumbang dan mati. dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh elemen bangsa, terutama mahasiswa yang berada di garda terdepan, Reformasi. Namun, hari ini kebebasan bersuara masih saja dibelenggu, suara-suara kritikan yang sejatinya ditujukan untuk memperbaiki kondisi negeri, dianggap rezim sebagai ancaman, bahkan dituduh melakukan upaya makar.

Fukuyama tidak mengembalikan esensi dan ciri umum dari demokrasi melainkan justru mengebiri demokrasi yang hanya berdasar pada kebebasan individu dengan basis ekonomi yang cenderung melegitimasi penguasaan alat produksi bagi para pemodal. Lebih jauh, jika kita memandang demokrasi yang secara filosofis, maka kita akan menemukan suatu konsep yang notabenenya menjadi cita-cita utama dari demokrasi itu sendiri, yakni lahirnya suatu gagasan kritis yang berupaya untuk menciptakan suatu tatanan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta keadilan atau dengan kata lain menjadikannya sebagai pandangan hidup masyarakat dunia.

Banyak pihak yang menyayangkan sikap represif yang ditunjukkan oleh rezim Jokowi. Sikap anti kritik ditunjukkan dengan menabrak hak konstitusi warga negara. Seperti kita ketahui bahwa kebebasan berpendapat dijamin dalam UUD Pasal 28 tentang kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan.

Alih-alih mengedepankan prinsip pelayanan pada rakyat, yang ada di benak penguasa adalah bagaimana melanggengkan kekuasaan.

menjadikan demokrasi sebagai alat meningkatkan legitimasi kekuasaan. Kekuasaan yang represif tidak selalu muncul dari penguasa yang merebut kekuasaan melalui jalur kudeta atau penggulingan penguasa yang sah. Tapi justru berawal dari proses yang paling demokratis yaitu pemilihan umum.

Demokrasi yang bertumpu pada falsafah pemisahan agama dari kehidupan menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya rezim yang represif dan otoriter. Dengan dalih telah mendapat legitimasi dari rakyat melalui pemilu, penguasa dapat mengambil kebijakan sesuai kehendaknya. Menempuh segala cara tanpa peduli halal dan haram.

Bagaimana cara menyingkirkan lawan politik baik dengan memukul atau merangkul (stick and carrot strategy). Ketika lawan politik telah berhasil diberangus dan kelompok oposisi berhasil dijinakkan maka penguasa akan semakin kuat. Pada akhirnya bisa mengambil kebijakan apapun sesuai kehendaknya. Pada titik itulah penguasa menjadi semakin represif dan otoriter.

Selain terlanjur DIJULUKI BONEKA, presiden ke tujuh RI itu sudah kerapkali disebut PEMBOHONG. Bukan hanya tak pernah menepati sebagian besar janji kampanyenya, kebijakan orang nomer satu di republik itu terus menimbulkan KESENGSARAAN dan PENDERITAAN rakyat. Tak hanya membuat kehancuran ekonomi, rezim yang porosnya ke negara Komunis Cina, cenderung KORUP, OTORITER dan TAK SEGAN-SEGAN MEMATIKAN lawan politiknya.

Utang, pajak, impor, korupsi dan paling seksi BBM. Alih-alih stabil kalau ngga sanggup turun, justru angkanya terus meroket setinggi-tingginya melewati omong kosong pada janjinya. Bukan hanya sekedar kontradiktif, pemerintahannya juga agresif menyerang demokrasi dan Islam.

“Rezim Jokowi masuk perangkap dalam kejatuhannya sendiri dengan berbagai kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat,”

Menurut Sutoyo, kekuasaan tidak bisa dipertahankan ketika rakyat sudah melakukan perlawanan.

“Tidak akan ada kekuasaan yang akan bisa bertahan ketika rakyat mulai melawan, hukum alam yang hakiki rakyat pasti akan memenangkan segalanya untuk meruntuhkan rezim yang ugal ugalan tirani dan mengarah kediktatoran”.

Dunia politik memang kadang sangat jahat dan keras. Melawan rezim yang sudah gila diperlukan perlawanan lebih gila dan nekad.

“Perjuangan dan perlawanan rakyat akan sampai pada momentumnya meraih kemenangan untuk mengembalikan negara ke arah yang normal kembali sesuai arah dan tujuan yang teramanahkan dalam UUD 45,”

Karena ketidakmampuan dan kegagalan proyek mimpi yang menjadi mercusuarnya, rezim berlaku represif dan memusuhi rakyat karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaannya. Sebuah pola defensif bagi upaya menikmati harta dan jabatan berlebihan dari nikmatnya menjadi penguasa.

Politik amburadul, ekonomi berantakan dan hukum hancur-hancuran. Membuat mata dan telinga rakyat tersadar bahwa presiden yang terpilih dua periode dalam genggaman oligarki baik oleh korporasi maupun partai politik itu. Sejatinya adalah budak imperialisme yang memiliki otoritas formal dalam negara. Berbingkai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang secara halus telah tereliminasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, presiden dengan kewenangan penuh bersama jajaran institusi negara lainnya, telah menjadi bagian dari sistem kolonialisme modern. Rezim bersama oligarki secara faktual telah membangun persekongkolan yang terstruktur, sistematik dan masif menghasilkan penjajahan bumi pertiwi yang rakyat dan negaranya merdeka tapi tak berdaulat.

Dua periode cukup sudah menjungkirbalikkan keadaan yang masih dalam proses meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan sebagaimana yang diinginkan oleh para “the founding fathers” dan pahlawan bangsa pendahulu.

Rakyat harus berdarah-darah dan kehilangan nyawa menghadapi segelintir bangsanya sendiri. Presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, yang seharusnya mengayomi, melindungi dan melayani rakyatnya. Faktanya malah menjadi sumber masalah dan konflik pada bangsa ini.
Bukan cuma sekedar menjadi penghianat distorsi kekuasaannya juga telah menjual dan menggadaikan negeri ini. Setelah mengalami nyaris tanpa pemerintahan dan menuju negara gagal. Rakyat yang secara bertubi-tubi hingga terseok-seok harus menghadapi kesulitan hidup.

Bagaikan berada dalam fase hidup mati berjuang menyelamatkan dan mempertahankan hidup bagi rakyat, negara dan bangsa. Tak ada pilihan lain selain melawan rezim tirani, betapapun besar pengorbanannya dan harus menghadapi tembok besar kekuasaan.

Sebagaimana syarat revolusi yang harus memenuhi syarat kondisi objektif, kondisi subjektif dan adanya pemimpin yang berpihak pada rakyat. Maka kenaikan harga BBM terakhir dari yang kesekian kalinya, bisa menjadi momentum perubahan yang tepat. Kenaikan harga BBM yang menimbulkan efek domino pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan berujung menurunnya daya beli rakyat sekaligus memunculkan kemiskinan struktural. Menjadi sinyal dan energi besar kemarahan rakyat untuk bergerak menjebol dan membangun sistem yang dikehendaki Sesuai amanat revolusi Indonesia.

Membebaskan rakyat dari belenggu orde distorsi, diksi penamaan setelah orde lama, orde baru dan orde reformasi. Maka dari itu, yang terbaik buat rakyat segera turunkan presiden yang telah menaikan harga BBM. Presiden yang oleh sebabnya, BBM MEROKET dari GORONG-GORONG.

Gerakan Reformasi Dikorupsi yang telah memakan korban jiwa pada September, memilih untuk mengangkat isu tentang pengebirian lembaga anti Korupsi serta Hak Asasi Manusia. Gerakan ini, juga ditengarai sebagai gerakan terbesar mahasiswa Indonesia pasca Reformasi 1998.

Gerakan Reformasi Dikorupsi merupakan suatu upaya untuk mengembalikan esensi demokrasi yang ideal. Namun, yang menjadi masalah besarnya adalah gerakan ini cenderung lahir secara prematur karena tidak berdasar pada pembacaan situasi yang betul-betul konkret untuk melihat bagaimana kondisi nyata dari apa yang dialami oleh rakyat Indonesia. Solidaritas mahasiswa dalam gerakan ini pun perlu dipertanyakan, mengingat adanya korban jiwa atas tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian, lantas cenderung tidak menjadi perhatian bagi mahasiswa.

Sangat nampak bahwa rezim Jokowi begitu khawatir akan kehilangan kekuasaan, hingga setiap kritikan, nasehat bahkan aspirasi rakyat yang menuntut perbaikan dianggap ancaman yang harus segera dihilangkan. Bahkan sikap anti kritik ini dianggap telah mencederai Demokrasi itu sendiri, yang mana nilai kebebasan menjadi sesuatu yang diagung-agungkan dalam Demokrasi.

*Panca: kritik, sila: kelalaian*

Membangun karakter bangsa termasuk di dalamnya institusi hukum, pada hakekatnya merestorasi atau mengembalikan karakter Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Artinya, mengkaji karakter bangsa tidak lepas dari konsep pembentukan masyarakat yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang tercermin dalam nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban, persatuan dan kesatuan bangsa, demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut ditempatkan sebagai fondasi bagi berkembangnya jati diri bangsa yang hidup di tengah keragaman dan perbedaan.

Suatu bangsa sadar atau tidak sadar selalu dihadapkan kepada suatu pertanyaan fundamental, yaitu bagaimanakah pandangan mengenai manusia dalam masyarakat?

Konkritnya pertanyaan itu adalah: (1) Siapakah manusia itu; (2) Apakah yang menjadi tugasnya sehubungan dengan kehadirannya dalam dan di tengah masyarakat; (3) Apakah manusia merupakan bagian dari masyarakat; (4) Ataukah manusia itu memiliki kamandirian penuh, diberi kekuasaan untuk menggunakan masyarakat bagi kepentingannya; (5) Bagaimana seharusnya manusia memandang kepada dan bersikap terhadap sesamanya; dan (6) Bagaimana manusia menempatkan dirinya berhadapan dengan alam.

Pancasila adalah jawaban bangsa Indonesia terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut dan dinyatakan secara sadar dan eksplisit. Kedudukan Pancasila adalah niscaya dan merupakan dasar dan sumber yang mengalirkan nilai, ide, tentang bagaimana masyarakat Indonesia hendaknya di organisasikan. Pancasila merupakan wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang terdalam mengenai keharusan keharusan yang dikehendaki dalam mengatur kehidupan masyarakat. Selanjutnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman dan perbedaan budaya, agama, suku, daerah dan golongan, maka perlu terus dibangun semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu semangat “bersatu dalam ragam”.

Menjadi dasar pertanyaan secarah bersama apakah pancasila masih bisa di sebutkan sebagai dasar dan pondasi kekuatan bagi masyarakat indonesia yang hidup beragam agama, ras, dan budaya? Bongkar secara realita bahwa kehadiran pancasila kian hari makin menurun nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila.
Di sini terlihat situasi paradoksal. Sebagai kerangka konsepsi, Pancasila merupakan ideologi tahan banting yang kian relevan dengan perkembangan global kekinian. Namun, dalam kerangka operasionalisasinya terdapat jurang kian lebar antara idealitas dan realitasnya.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara mengandung ‘pikiran yang sedalam-dalamnya’. Untuk merealisasikannya diperlukan prasyarat kecerdasan dengan usaha sungguh-sungguh ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Apalagi, kerakyatan (demokrasi) yang diidealisasikan Pancasila juga ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan’ (kecerdasan-kearifan). Lebih dari itu, tidak ada negara bisa maju dan meraih cita-citanya tanpa basis kecerdasan.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara sulit dibudayakan dalam kehidupan negara-bangsa dengan basis kecerdasan lemah. Sungguh mencemaskan, berbagai indikator menunjukkan kemampuan literasi, erudisi (budaya baca), numerasi, berpikir dan bernalar anak Indonesia, dan masyarakat umumnya, masih sangat rendah. Begitu pun hasil uji kompetensi guru secara nasional belum mencapai standar kompetensi minimal. Apalagi kalau dilihat dari ukuran yang berkaitan dengan tingkat keinovasian dan usaha memajukan perekonomian berbasis pengetahuan. Konsekuensinya budaya ilmiah kita juga memprihatinkan. Lebih jauh, budaya demokrasi yang memerlukan kekuatan empati, rasionalitas, dan argumentasi sulit dikembangkan dalam tradisi baca-tulis dan logika ilmiah yang lemah.

Maka demikian, sila-sila Pancasila yang seringkali dimaknai secara hierarki (masing-masing sila mendasari dan didasari satu sama lain), maka apakah hal tersebut reflektif dengan nilai-nilai kemanusiaan? Jika Pancasila dimaknai secara hierarki, yang mana nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh nilai-nilai ketuhanan. Konteks yang serupa juga terjadi jika nilai-nilai persatuan yang didasari nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan, justru yang seringkali ditemui adalah upaya pembantaian sesama bangsa atas nama identitas, yang berkebalikan dengan nilai-nilai persatuan.

Secara politis, nilai-nilai kerakyatan bisa berarti demokrasi karena demokrasi menjadi sistem politik yang paling dekat dengan rakyat. Namun, coba kita tengok ke belakang, pada era Orde Baru, Pancasila yang dijadikan sebagai asas tunggal dalam segala lini kehidupan, justru melanggengkan otoritarianisme selama 32 tahun. Selain itu, alih-alih menjadikannya sebagai asas pembangunan, namun nyatanya melahirkan oligarki, yang merupakan kroni ekonomi-politik Soeharto. Upaya mencapai keadilan sosial yang hanya bisa dicapai (didasari) oleh nilai-nilai kerakyatan justru melahirkan keadilan hanya bagi segelintir orang.

Upaya perlawanan rakyat terhadap oligarki dalam wujud populisme juga berlalu dengan sia-sia. Populisme yang sering diartikan sebagai rakyat vis a vis dengan elite korup, tetapi justru terjadi penunggangan oleh oligarki. Massa dalam populisme Islam dijadikan sebagai alat mobilisasi suara strategis saat politik.

Pancasila sebagai pandangan dunia menghendaki tertib moral publik (civil religion). Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD NRI 1945 menegaskan perlunya penyelenggara untuk ‘memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur’.

Nilai Pancasila sulit ditumbuhkan dalam lahan keadaban yang tandus, tatkala kebanyakan warga lebih terobsesi ‘cinta kekuasaan’ (the love of power) ketimbang ‘kekuatan cinta’ (the power of love).

Kemiskinan terparah suatu bangsa bukanlah kemiskinan sumber daya melainkan kemiskinan jiwa. Manakala warga negara cuma bisa bertanya apa yang bisa didapat dari negara; dan ketika penyelenggara negara cuma memburu kehormatan (noblesse), tapi tak mau memikul tanggung jawab (oblige) dari kehormatan itu.

Dengan membayangkan keluasan, kebesaran, dan kemajemukan bangsa, usaha membangun Indonesia tidak cukup mengandalkan modal sumber daya alam, sumber daya finansial, dan sumber daya keterampilan. Yang lebih fundamental ialah modal-sosial, yang dapat diperkuat melalui perluasan jaring-jaring konektivitas (infrastruktur fisik dan nonfisik), dan inklusivitas (kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, peran publik, dan privilese sosial), dengan ikatan komitmen moral publik, yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya.

Generasi milenial hari ini mendapati konektivitas fisik yang jauh lebih baik dalam ketersediaan berbagai moda transportasi, jaringan perhubungan, teknologi telematika, dan media digital. Namun, dengan pelemahan pada konektivitas hati (penyempitan ruang interaksi lintas-identitas) dan pikiran (kemunduran literasi dan erudisi), intensitas penggunaan media digital itu tidak sungguh-sungguh mengarah pada apa yang latah disebut sebagai media “sosial” (dari kata socius, yang artinya bersahabat, tersambung hangat). Malahan sebaliknya, sering mengarah menjadi media “a-sosial” (saling mencaci, saling merundung, dan saling menegasikan, yang menimbulkan diskoneksi).

Pancasila sebagai norma fundamental negara dan ideologi negara menghendaki perwujudan negara Indonesia sebagai negara hukum (Rechsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (Machtsstaat). Kendati sistem pemerintahan konstitusional Indonesia tidak menghendaki perwujudan negara otoriter, tetapi pemerintahan dan demokrasi tak bisa ditegakkan tanpa wibawa otoritas negara hukum. Tanpa kepastian dan penegakan hukum, demokrasi bisa mengarah pada kekacauan. Demokrasi yang sehat memerlukan keseimbangan (checks and balances) antara negara yang ‘kuat’ dengan masyarakat yang kuat.

Dalam konteks itu, aktualisasi Pancasila sebagai norma fundamental yang menghendaki penegakan negara hukum, harus mencermati tendensi-tendensi yang mengarah pada realitas pelemahan sistem hukum nasional. Selain masih bercokolnya produk hukum bablasan kolonial, muncul pula berbagai produk perundang-undangan tanpa uji kesahihan Pancasila, yang saling bertabrakan secara vertikal (dengan peratuan pada hierarki di atasnya) dan horisontal (dengan peraturan yang lain dalam hierarki yang sama). Di luar itu, dikhawatirkan pula adanya tendensi politisasi hukum oleh tekanan-tekanan pragmatis kekuasaan serta kemerosotan wibawa hukum dalam mengatasi berbagai ekspresi kekerasan.

Sebagai catatan terakhir dan sebagai upaya perenungan bersama, masih layakkah kita merayakan Hari Lahir Pancasila?

*September Penindasan, Oktober Perenungan*.

Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Unram.

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles