Bima merupakan suatu daerah otonom yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa. Sejak tanggal 10 April 2002 Kabupaten Bima dimekarkan menjadi dua daerah, yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2002. Kedua daerah tersebut memiliki gerbang keluar masuk yang sama. Pintu gerbang utama melalui darat, laut, dan udara semua terbuka bagi siapa saja yang ingin datang atau pergi ke Bima. Ketiga pintu gerbang tersebut yaitu, Pelabuhan Bima, Bandara Muhammad Salahuddin dan Terminal Bus Dara, merupakan gapura utama yang menghubungkan Bima dengan daerah lain.
Mengenai asal nama “BIMA” berasal dari nama seorang utusan Raja dari Jawa yang mengemban misi ke daerah timur yang bernama Sang Bima. la adalah raja pertama yang bergelar “sangaji” (Raja). Sebelum Sang Bima sampai di Dana Mbojo kemudian disebut “Bima” ia singgah di Pulau Satonda dan menikah dengan seorang putri Raja Naga. Beberapa lama kemudian, sang Bima meneruskan misinya ke timur sedangkan istrinya ditinggalkan di Pulau Satonda sampai melahirkan anak perempuan yang diberi nama Indera Tasi Naga. Sang Bima kembali dari timur ke Pulau Satonda untuk bertemu istrinya. Sang Bima sangat sedih ketika ia mengetahui bahwa istrinya telah meninggal dunia. Kemudian Sang Bima bertemu putri jelita yang sangat cantik yang oleh Sang Bima dikawinilah putri jelita itu. Malang bagi Sang Bima ternya putri jelita yang ia kawini itu adalah anaknya dari Putri sang Naga. Dari perkawinan “incest” ini lahir dua orang putra yang diberi nama Indra Jamrut dan Indar Kumala. Mereka dimasukkan oleh ibunya ke dalam sebuah peti sesuai pesan Sang Bima sebelum kembali ke Jawa. Kemudian peti itu dilepas ke laut dan terdampar di pantai Dompu.
Dalam perjalanan sejarahnya “Dana Mbojo” terus berkembang kemudian setelah kemerdekaan, mulai tanggal 4 Mei 1947 Sultan Muhammad Salahuddin memfungsikan kembali syara hukum sebagai salah satu majlis adat dalam pemerintahan dan diubah menjadi badan badan hukum syara yang dipimpin oleh seorang kadi dan seorang iman. Sultan Muhammad Salahuddin memerintah kurang lebih 36 tahun dan wafat di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1951.
Sejak zaman kerajaan sekitar abad ke 16, masyarakat Bima (Dou Mbojo) telah mengenal adannya sesanti yang mewarnai kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Sesanti ialah suatu ajaran etika yang mengandung nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Sesanti kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo) berbunyi: “MAJA LABO DAHU”. Ada dua kata kunci, yaitu “Maja”dan “Dahu”. Secara harafiah masing-masing bermakna: “Maja” artinya “Malu” dan “Dahu” artinya “Takut” = taqwa. Ditinjau dari sudut filsafat, kedua suku kata tersebut mengandung pengertian yang luas dan dalam.
Aspek pertama dari inti ajaran etika tersebut mengandung “budaya malu” (dalam bahasa bima:”Maja”). Aspek kedua mengandung pengertian takut (bahasa bima : ” Dahu”) yaitu takut kepada Allah = taqwa.
Malu dan takut (taqwa) saling melengkapi sehingga ajaran etika tersebut mampu membentuk keperibadian yang di dalamnya tertanam nilai moral yang luhur sebagai wahana pengendalian diri yang ampuh. Oleh sebab itu ajaran etika tersebut haruslah benar-benar di amalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“MAJA LABO DAHU”. Ada dua kata kunci, yaitu “Maja”dan “Dahu”. Secara harafiah masing-masing bermakna: “Maja” artinya “Malu” dan “Dahu” artinya “Takut” = taqwa. Ditinjau dari sudut filsafat, kedua suku kata tersebut mengandung pengertian yang luas dan dalam.
Aspek pertama dari inti ajaran etika tersebut mengandung “budaya malu” (dalam bahasa bima:”Maja”). Aspek kedua mengandung pengertian takut (bahasa bima : ” Dahu”) yaitu takut kepada Allah = taqwa.
Malu dan takut (taqwa) saling melengkapi sehingga ajaran etika tersebut mampu membentuk keperibadian yang di dalamnya tertanam nilai moral yang luhur sebagai wahana pengendalian diri yang ampuh. Oleh sebab itu ajaran etika tersebut haruslah benar-benar di amalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sesanti “Maja Labo Dahu” yang merupakan sumber ajaran etika dalam kehidupan masyarakat Bima, aktualisasinya dijabarkan dalam berbagai motto yang merupakan wahana pendorong semangat dan kebulatan tekad untuk berbuat baik, berwatak ksatria, memupuk rasa kesetiakawanan sosial, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Motto yang bersumber dari sesanti “Maja Labo Dahu”tersebut sekaligus juga merupakan etika pemerintahan adat Dana Mbojo.
Kampung orang Bima sangat menarik baik dari bentuk fisik kampung, corak budaya serta perkembangannya. Setidaknya ada dua model kehidupan penduduk Bima yang dikategorikan kampung Bima. Pengelompokkan kampung orang Bima di sini hanya ditinjau dari sudut keadaan kampung dan pengaruhnya pada kehidupan penduduknya. Penduduk sekitar kampung orang Bima berlokasi di sekitar pegunungan Lambitu adalah kampung Sambori, kampung Donggo dan kampung orang Bima di dataran rendahnya. Di sana ada pula kampung Kuta, Koladu, dan kampung Teta. Kampung Sambori lebih unik dibanding kampung sekitarnya.
Rumah orang Sambori bertiang empat dan beratap alang-alang. Bentuk atapnya seperti kerucut. Atap rumah sekaligus sebagai dinding. Rumah orang Sambori terdiri dari satu ruangan. Di ruangan itu sebagai tempat istirahat, tempat tidur dan memasak, tidak ada jendela kecuali satu pintu yang berfungsi juga sebagai ventilasi. Seiring bertambahan penduduk orang Sambori mendirikan rumah di luar lingkungan kampung Sambori Lama. Kampung Baru disebut kampung Sambori Luar dan kampung Sambori Lama hingga sekarang tetap dipertahankan sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi turis. Rumah orang Sambori Luar tidak sama bentuknya dengan Sambori Dalam (Lama). Rumahnya sama bentuknya dengan rumah orang Bima umumnya, yaitu rumah panggung.
Pada jaman Kerajaan Bima kesenian menjadi bagian yang sangat diperhatikan oleh sebuah lembaga adat yang disebut” bumi”. Masing-masing alat kesenian dipegang oleh seorang pejabat adat, seperti urusan alat musik gendang diurusi dan menjadi tanggung jawab “bumi genda”, dan “bumi sila” bertanggung jawab memelihara alat musik tiup. Dua jenis alat musik tersebut merupakan jenis musik mengiring utama kesenian daerah Bima. Sejak pendudukan Jepang pejabat adat tersebut tidak ada lagi. Ada beberapa jenis kesenian, yaitu kesenian yang khusus dipertunjukkan di istana pada hari hari tertentu seperti hari Maulid Nabi Muhammad SAW, upacara pelantikan raja, penyambutan tamu agung dan ada kesenian. Kesenian yang tergolong tarian istana adalah; Toja Artinya Teja atau Awan Merah merupakan tarian yang dimainkan oleh 2 orang putri, berpakaian baju “poro” berwarna merah menggambarkan putri khayangan yang turun ke dunia dan nikah dengan putera raja, Kanja merupakan tarian perang yang melambangkan kepahlawanan dan kesetiaan prajurit kerajaan Bima terhadap rajanya dan membela negerinya berpakaian opsir kerajaan Bima.
Selain Kanja ada Sere adalah sebuah tarian perang yang dipertunjukkan pada waktu upacara pelantikan sultan/pangeran dan pada hari Maulid. Hampir sama dengan tarian Kanja dan Sere ada tarian Soka dan Sarau Jara yang dibawakan oleh prajurit biasa yang menunggang kuda. Di samping tarian khusus golongan istana ada pula kesenian bagi rakyat, yaitu; Mpa’a Manca, Mpa’a Kantao dan Mpa’a Sila merupakan tarian ketangkasan.
Tarian ini hampir sama dengan adu ketangkasan pencak silat. Perbedaan ketiga tarian tersebut terletak pada senjatanya Mpa’a Manca bersenjatakan kayu kalau Mpa’a Sila menggunakan pedang (besi) panjang dan tajam sedangkan Mpa’a Kantao tanpa senjata. Ada juga tarian Mpa’a Lepi Wei tarian ini memperagakan pemuda menggoda kekasihnya tetapi sesungguhnya menurut arti nama tarian (lepi wei) artinya berebut istri (kekasih).
Tulisan ini merupakan karya yang terdapat di dalam Koran MEDIA pada tahun 2007. Ditulis oleh Ika Virgo Dianty