Oleh: Satria Tesa
Madisa Institut
Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri getol sekali menyerukan Kepala Desa (Kades) di Pemerintah Kabupaten Bima (Pemkab Bima) untuk memperbaiki tata kelola Pemerintahan Desa (Pemdes). Ia dalam kapasitasnya sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan seyogyanya berkewajiban menuntun Pemdes menyelenggarakan tata kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Governance).
Perbaikan tata kelola pemerintahan adalah keharusan konstitusional dan tuntutan integritas. Konsepsi tersebut akan menuntun tercapainya tujuan Ontonomi Desa (berdasarkan visi UU Desa) yang pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Desa.
Dalam konteks ini, amanah penerapan Good and Clean Governance selain terdapat dalam ketentuan Perundang-undangan, juga seringkali diucapkan Bupati untuk menuntun Sumpah Jabatan para Kades, sebagai pucuk pimpinan Pemdes. Urgensinya terletak pada kenyataan bahwa tidak sedikit para Kades yang berurusan dengan hukum sampai mendekam dalam jeruji besi gara-gara tersandung kejahatan jabatan (occuptional crime).
Kejahatan itu populer disebut sebagai, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Barangkali Bupati Bima ingin menegaskan dirinya literasi keteladanan dan panutan integritas untuk para Kades.
Terkini, Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan (BPKP) NTB melakukan pemeriksaan besar-besaran terhadap 66 Desa dari total 191 Desa di Kabupaten Bima. Pemeriksaan itu adalah ‘sejarah’ yang menempatkan Kabupaten Bima sebagai Kabupaten tertinggi di NTB yang Desanya diperiksa BPKP. Puluhan Desa itu diperiksa terkait, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) Tahun 2022. Karena inilah Bupati diperiode kedua getol sekali menyerukan perbaikan tata kelola Pemdes. Hal yang jarang kita temukan pada periode Pertama.
Turun gunungnya BPK jika diamati secara cerdas dan bijaksana menguak tanda ketidakmampuan Pemkab Bima (DPMDes dan Inspektorat) menggaransikan kesanggupan membina dan mengawasi Desa. Padahal ada fakta bahwa DD digaransikan untuk membiayai Bimtek Pemkab Bima yang ditujukan untuk Pemdes. Belum nampak Pemkab Bima membina Desa agar lebih peka dan cakap mewujudkan Good and Clean Governance.
Data DPMDes Provinsi NTB, membuktikan bahwa mayoritas Desa tertinggal terbanyak berada di Bima dengan jumlah 63 Desa pada tahun 2021. Data itu membeberkan bahwa mayoritas Desa Berkembang tertinggi di NTB ditahun 2021 adalah Bima dengan 104 Desa. Mirisnya, untuk kategori Desa Maju Bima hanya berjumlah 23 Desa.
Bima hanya kalah tipis dengan Dompu yang memiliki 18 Desa Maju dari total 72 Desa. Tentu yang menyakitkan, mulai tahun 2019 hingga 2021 Bima hanya punya “sebiji” Desa Mandiri.
Tidaklah menjadi rahasia umum bahwa DPMDes dan Inspektorat mandul dan cenderung dijadikan alat politik yang berkuasa. Bahkan ada kesan bahwa dua OPD itu diduga menjadi mesin penghisap DD dengan memanfaatkan keluguan Perangkat Desa. Alih-alih menyokong Desa berkembang, maju dan mandiri. Penulis menilai terperiksanya 66 Desa itu secara filosofis menampar “Wajah” Pemimpin Daerah karena tidak bisa memperkecil potensi Penyelewengan Administrasi di Desa. Tentu disamping pemeriksaan itu terindikasi diplintir Bupati untuk kepentingan politis tertentu.
Melihat Kedalam Diri Sendiri
“Pemdes harus merapikan administrasi. Desa harus menerapkan Good and Clean Governance. Desa tidak boleh KKN. Desa mewujudkan kesejahteraan masyarakat Desa. Ingat melanggar atau melawan aturan bisa dipidana,” beginilah makna seruan Bupati ketika nampak membina dan mengedukasi Desa. Menurut hemat Penulis seruan tersebut bisa berwarna ajakan bahkan ‘ancaman’ untuk Pemdes.
Teks yang dipilih Bupati sederhana, tegas dan kontekstual dengan beragam masalah Desa. Namun, penulis menduga Bupati krisis legitimasi bahkan sampai pada kekurangan integritas untuk jadi panutan dan keteladan Pemdes.
Pertama, seruan tersebut diajukan dalam keadaan bias politik mengingat Bupati adalah Pejabat Politik. Kedua, seruan itu nampak hipokrit karena Bupati tidak melihat kedalam dirinya (baca: Pemkab Bima). Ketiga Bupati nampak tidak mendalami secara utuh, jujur dan autentik fenomena bermasalahnya Desa di Bima.
Bahkan mestinya,191 Desa di Bima harus diperiksa seluruhnya. Pilihan itu akan membuat seluruh desa bisa menata diri. Idealnya Bupati menggaransikan diri bahwa Pemkab Bima sudah terperiksa secara total dan habis-habisan oleh BPKP. Sebelum memeriksa Desa. Apakah Pemkab Bima jika diperiksa secara total akan menghasilkan kesimpulan: baik (good), bersih (clean) dalam mengelola Pemerintahan?
Masalahnya tentu saja, Bupati Bima tidak cukup tangguh bertanggung jawab menjamin bahwa Pemkab Bima itu menerapkan Good and Clean Governance. Bukan rahasia umum bahwa banyak oknum pejabat penting Pemkab Bima sudah banyak tersandung KKN. Fakta juga berbicara bahwa hasil temuan BPKP NTB terdapat puluhan miliar kerugian daerah karena penyelewengan dalam berbagai proyek di Pemkab Bima sepanjang tahun 2021.
Salah satunya temuan BPKP yang mengerikan itu pada pembangunan Masjid Agung Bima, menyedot anggaran Rp. 88 Miliar, dan terindikasi merugikan keunagan daerah sebesar, Rp. 8,4 Miliar. Dengan bahasa lain setiap Rp. 10 Miliar dikucurkan, ditaksir 1,4 Miliar menjadi kerugian negara.
Pada kasus Korupsi, yang mengerikan menurut penulis iyalah pada situasi kebencanaan “anak buah” Bupati diduga melakukan Korupsi. Penulis menolak lupa bahwa Bupati Bima berdasarkan temuan Ombusmand NTB diduga menyalahgunakan kewenangan saat membuat SK penunjukan Supplier (Distributor) dalam Program Kemensos: Bantuan Pangan Non-Tunai. Bupati melegitimasi keluarganya yakni, adik kandungnya, ipar-iparnya, dan kroninya secara melawan hukum untuk berbisnis Sembako.
Jika urusan Program Pemerintah Pusat membuka kran munculnya KKN, bagaimana dengan proyek yang menggunakan APBD?
Serupa dengan Pemkab Bima, DPRD sendiri nampak tersandra beragam masalah. Masalah yang mengerikan tentu komplotan anggota Dewan (lebih dari separuh anggota dewan Bima) menggelapkan APBD melalui pemalsuan dokumen perjalanan dinas (SPPD) dan pelaksanaan Reses Fiktif. Imbasnya setengah miliar keuangan daerah dirugikan berdasarkan temuan BPKP 2022. Ketua DPRD Bima ada dalam daftar ini.
Sementara untuk urusan Publik, persoalan Pupuk Subsidi yang “dikendalikan” Mafia tidak bisa dituntaskan. Hal yang sama terjadi pada hak dasar rakyat: Infrastruktur. Menyonsong 7 Tahun Bima Ramah beragam jalan rusak memadati tubuh daerah.
Dinegeri itu, rakyat pernah menambal jalan kewenangan Pemkab Bima menggunakan Rabat Beton. Situasi inilah yang membuat visi Bima ramah asing dimata rakyat. Bahwa ada surplus kesejahteraan pada Pemerintah, sedang kekurangan kesejahteraan pada Rakyat.
Pada subtansinya, terlalu banyak masalah yang tak bisa diuraikan seluruhnya. Benang merahnya sederhana Pemerintah Daerah pun tidak tahu apa dan bagaimana penerapan Good and Clean Governance.
Jika Pemerintahan baik dan bersih wajah daerah tentu tidak seperti sekarang. Kita dianjurkan untuk “mencuci tangan” sebelum makan. Kita juga dianjurkan “mencuci mulut” setelah makan. Seyogyanya, Kepala Pemerintahan itu keteladanan untuk jajarannya dan keteladanan untuk rakyatnya.
Memperbaiki Pemerintahan dan membersihkan Pemerintahan dari KKN dilevel Desa sebaiknya dilalui melalui perbaikan dan pembersihkan KKN di Pemkab Bima. Vatal mnyerukan Desa harus baik dan bersih disaat Pemkab Bima kotor dan “berlumuran darah”.
Kita tidak boleh pura-pura lupa bahwa di Desa SDMnya tidak sebagus SDM di Pemkab Bima. Pada Pemkab disisi manusia pengemban rata-rata terpelajar, sedangkan di Desa dominan diisi SDM yang rata-rata alumni SMA sederajat. Untuk keadilan, jangan pernah menawarkan sesuatu pada orang lain, yang Pemkab Bima sendiri tidak punya.”
Saya selalu percaya “Dumu Dou” itu laksana pucuk daun dalam Pepohonan. Sebagaimana saya percaya bahwa “IKAN SELALU MEMBUSUK DIMULAI KEPALA.”
TOHORA NDAI SURA DOU LABO DANA?
Konsep Good and Clean Governance secara sosiologis bermakna sama dengan konsep falsafah “Tohora Ndai Sura Dou Labo Dana.” Bedanya, dalam falsafah “Tohora Ndai Sura Dou Labo Dana”, menegaskan makna bahwa Pemimpin dituntun mengabaikan kepentingan diri dan keluarganya demi rakyat dan daerah.
Sedang dalam Good and Clean Governance, rakyat telah menyerahkan mandat yang bersamaan diberikan keistimewaan material dan moral pada Pemimpinya. Keistimewaan itu diberikan untuk membuat Pemimpin bergairah melayani dan mewujudkan hak rakyat: sejahtera.
Atas dasar itu Pemimpin diberikan gaji, beragam tunjangan pangkat dan jabatan, juga beragam fasilitas seperti Kendaraan Dinas, Rumah Dinas, sampai urusan kebutuhan Pakaian dan Sembako. Seluruh keistimewaan material itu bersumber dari Pajak Rakyat. Pemimpin juga mendapatkan keistimewaan moral berupa keberterimaan atau penolakan saat berjumpa rakyat. Dieluk-elukan tentu saja.
Untuk kepentingan refleksi kolektif, apa yang terjadi jika Mobil Dinas Bupati Bima hampir mencapai Satu miliar harganya, sementara infrastruktur dasar rakyat dalam keadaan rusak parah?
Tentu, tidak perlu jadi Pemimpin jika hanya sekedar untuk jadi “Bandar”, “Makelar” yang “berdagang” hak rakyat.
Bagaimanapun cara rakyat memilih apakah menggunakan nurani, kecerdasan atau “politik uang dalam kardus” dalam batinnya rakyat memilih Pemimpin yang “Tohora Ndai Sura Dou Labo Dana.” Bukan malah sebaliknya, memilih Pemimpin yang “Tahora Dou Labo Dana, Sura Ndai Labo Keluarga Istana.”
Penulis optimis, rakyat tidak sekedar memilih pejabat politik, apalagi jika pejabat politik itu hipokrit (baca; munafik). Rakyat juga memilih Pejabat integritas, yang setiap saat mengalirkan panutan dan keteladanan untuk Dou Labo Dana.