Oleh : Adjie Shaofani Elsayyid
Di tengah bayang-bayang krisis pangan global akibat pandemi, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik, pemerintah Indonesia menempuh langkah ambisius: membangun food estate—kawasan terpadu berskala besar yang mengintegrasikan aktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan. Program ini ditetapkan sebagai salah satu kebijakan strategis nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Pada tahun 2025, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, proyek ini mendapat alokasi anggaran hingga Rp124,4 triliun untuk mendorong pertanian terintegrasi di berbagai wilayah, termasuk Merauke dan Kalimantan Tengah.
Diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan lumbung pangan nasional, food estate tampil sebagai jawaban atas tantangan ketersediaan pangan jangka panjang. Namun, di balik ambisi besar tersebut, muncul pertanyaan penting tentang efektivitas, keberlanjutan, serta dampak sosial dan ekologis dari implementasinya. Proyek yang besar tidak selalu menjanjikan solusi—dan di sinilah pentingnya kajian kritis terhadap arah dan dampak kebijakan ini.
Solusi atau Ilusi?
Program food estate dirancang untuk membentuk kawasan pertanian terpadu berskala besar yang diyakini mampu meningkatkan produksi pangan nasional. Salah satu kawasan yang menjadi sorotan adalah Merauke, Papua Selatan, dengan rencana besar mencakup pengembangan perkebunan tebu seluas 500.000 hektare, pencetakan sawah baru satu juta hektare, serta optimalisasi lahan dari 40.000 menjadi 100.000 hektare. Pemerintah juga berencana menerapkan teknologi pertanian modern demi mendorong efisiensi dan produktivitas.
Secara konsep, food estate berupaya memanfaatkan lahan-lahan potensial yang selama ini kurang tergarap. Di Kalimantan Tengah, misalnya, proyek ini difokuskan pada budidaya padi, jagung, dan singkong, dengan hasil panen diklaim mencapai 4,5 ton per hektare—lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sebesar 3,8 ton per hektare.
Namun, pertanyaan mendasarnya: Apakah peningkatan produksi secara kuantitatif benar-benar cukup untuk menjamin ketahanan pangan yang stabil dan berkelanjutan? Faktanya, peningkatan produksi saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan manajemen distribusi yang baik. Masalah klasik seperti infrastruktur yang buruk dan ketergantungan pada rantai pasok yang panjang masih menjadi hambatan utama. Ironisnya, meskipun produksi meningkat, harga pangan di tingkat konsumen sering kali tetap tinggi akibat biaya distribusi yang tidak efisien. Jika pemerintah hanya fokus pada kuantitas tanpa memperhatikan aspek distribusi dan aksesibilitas, maka program ini berpotensi menjadi proyek mahal tanpa dampak nyata bagi masyarakat luas.
Proyek food estate gagal mencapai target produksi yang dijanjikan karena kurangnya kesiapan infrastruktur dan manajemen yang tidak efektif. Sebagai contoh, konversi lahan gambut untuk pertanian telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang serius, mengancam keanekaragaman
hayati dan merugikan masyarakat adat yang bergantung pada ekosistem tersebut. Lebih jauh lagi, pendekatan yang digunakan sering kali mengabaikan kebutuhan lokal dan hanya berorientasi pada skala besar. Hal ini menciptakan risiko bahwa proyek food estate justru menjadi ancaman bagi kemandirian pangan masyarakat lokal, karena mereka kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang sebelumnya menjadi basis kehidupan mereka.
Retorika Hijau atau Realitas Kelam?
Permen LHK No. 24/2020 yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan, termasuk hutan lindung, untuk pembangunan food estate menjadi salah satu kebijakan kontroversial yang berpotensi memperburuk dampak lingkungan dan social. Kebijakan ini bertentangan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara tegas membatasi pemanfaatan hutan lindung untuk kegiatan yang tidak merusak fungsi ekologisnya. Penggunaan kawasan hutan, khususnya lahan gambut dan wilayah adat, untuk proyek agrikultur skala besar berpotensi mempercepat deforestasi, mengancam keanekaragaman hayati, dan meminggirkan masyarakat adat yang secara turun-temurun bergantung pada ekosistem tersebut. Tambahan lagi, tidak adanya penjelasan yang transparan tentang apa yang dimaksud dengan kawasan hutan yang “tidak sepenuhnya berfungsi lindung” memperkuat kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa menjadi celah legal untuk eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan bukanlah kekhawatiran tanpa dasar. Di Kalimantan Tengah, pembukaan lahan untuk food estate telah memicu deforestasi yang masif dan mempercepat perubahan iklim. Kawasan gambut, yang memiliki peran vital sebagai penyerap karbon alami, menjadi korban konversi lahan pertanian. Saat digarap dan dikeringkan, lahan gambut justru melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer, memperparah krisis iklim global. Kerusakan ini tidak berhenti di situ. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara intensif dalam proyek-proyek food estate juga menurunkan kualitas tanah, mencemari air permukaan, dan memperburuk daya dukung lingkungan.
Ironisnya, pemerintah sering kali mengabaikan dampak lingkungan ini demi mengejar target produksi jangka pendek. Jika pola ini terus berlanjut, maka program food estate tidak hanya gagal mencapai ketahanan pangan tetapi juga meninggalkan warisan kerusakan ekologi yang sulit diperbaiki.
Pemberdayaan atau Peminggiran?
Dalam berbagai pernyataan resmi, program food estate sering digambarkan sebagai upaya strategis untuk memberdayakan ekonomi lokal—dengan janji menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar proyek. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan narasi ini tidak selalu sejalan dengan praktik. Di sejumlah wilayah, terutama kawasan dengan keberadaan masyarakat adat yang kuat, program ini justru menimbulkan dampak yang merugikan. Alih fungsi lahan dalam skala besar telah membuat banyak komunitas adat kehilangan akses terhadap tanah tradisional mereka. Di Kabupaten Merauke, misalnya, sekitar satu juta hektare hutan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanpa persetujuan masyarakat adat setempat. Padahal, bagi mereka, hutan bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan juga bagian dari identitas, spiritualitas, dan kelangsungan hidup.
Lebih jauh lagi, pola kerja yang diterapkan dalam food estate cenderung bersifat eksploitatif. Banyak tenaga kerja lokal hanya mendapatkan pekerjaan musiman dengan upah rendah, sementara keuntungan besar diraup oleh perusahaan-perusahaan besar yang mengelola proyek tersebut. Proyek food estate di Kalimantan Tengah hanya mencapai 23% dari target produksi yang diharapkan, menunjukkan bahwa tanpa perencanaan dan teknologi yang tepat, proyek ini berisiko gagal. Selain itu, perubahan pola makan akibat dominasi komoditas tertentu dalam food estate dapat menyebabkan masalah kesehatan dan gizi bagi masyarakat lokal. Jika pemerintah tidak segera mengatasi ketimpangan ini dan melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan serta pelaksanaan proyek, maka food estate akan berpotensi menjadi alat baru untuk memperdalam ketidakadilan sosial di pedesaan, bukan solusi bagi ketahanan pangan nasional.
Harapan atau Fatamorgana?
Salah satu tujuan utama dari program food estate adalah untuk menstabilkan harga pangan domestik dengan meningkatkan pasokan, namun pencapaian ini tidak semudah yang dibayangkan. Pasar pangan domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk fluktuasi harga komoditas internasional dan dampak perubahan iklim. Tanpa adanya kebijakan perlindungan harga yang efektif, petani lokal tetap rentan terhadap kerugian akibat harga jual yang rendah. Misalnya, dalam beberapa kasus, peningkatan produksi dalam skala besar dapat menciptakan overproduksi untuk komoditas tertentu seperti padi atau jagung. Jika pasar tidak mampu menyerap hasil panen secara optimal, harga akan anjlok di tingkat petani, merugikan mereka dan mengancam keberlanjutan program food estate itu sendiri. Ketidakpastian pasar akibat kebijakan yang tidak konsisten dan kurangnya dukungan infrastruktur juga berkontribusi pada volatilitas harga pangan. Misalnya, jika pemerintah tidak menerapkan kebijakan harga minimum atau jaminan pasar bagi petani, mereka akan terus menghadapi risiko kerugian ketika terjadi surplus produksi. Hal ini bukan hanya merugikan petani tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi konsumen yang bergantung pada stabilitas harga pangan.
Implementasi penggunaan lahan efektif juga menjadi persoalan. Contohnya Food estate di Kalimantan Tengah mengalami masalah serius ketika penanaman jagung dipaksakan di lahan yang sebelumnya ditujukan untuk singkong. Kementerian Pertanian mengklaim bahwa panen jagung di lokasi tersebut telah berhasil, tetapi realitas di lapangan sering kali bertolak belakang dengan data yang disajikan. Jika proyek-proyek seperti ini terus berlanjut tanpa evaluasi dan perbaikan yang tepat, maka tujuan untuk menstabilkan harga pangan akan semakin sulit dicapai.
Pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan yang lebih holistik dan berkelanjutan dalam pengembangan food estate. Ini termasuk penguatan sistem distribusi pangan, peningkatan akses pasar bagi petani kecil, serta penerapan teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi lokal. Dengan demikian, program food estate dapat benar-benar berfungsi sebagai solusi bagi ketahanan pangan nasional dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal tanpa mengorbankan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Pengembangan food estate sering kali terlihat lebih sebagai proyek ambisius daripada solusi nyata bagi ketahanan pangan nasional. Pemerintah tampaknya terlalu sibuk dengan pencitraan politik tanpa benar-benar memahami kompleksitas masalah pangan di Indonesia. Alih-alih fokus pada solusi jangka panjang seperti reformasi agraria dan penguatan koperasi petani, pemerintah malah memilih jalan pintas melalui proyek-proyek besar yang sarat kontroversi.
Lebih ironis lagi adalah kurangnya transparansi dalam pelaksanaan program ini. Banyak keputusan strategis terkait lokasi dan pengelolaan food estate dibuat tanpa melibatkan masyarakat lokal secara memadai. Jika pola ini terus berlanjut, maka food estate hanya akan menjadi simbol kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Jalan Panjang Menuju Ketahanan Pangan
“Pangan adalah hidup dan mati suatu bangsa.”
Kutipan Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1952 di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia ini mengingatkan kita bahwa urusan pangan bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi merupakan pondasi utama kedaulatan dan keberlangsungan sebuah negara.
Program food estate memang memiliki potensi besar untuk memperkuat stabilitas dan keberlanjutan sistem ketahanan pangan nasional. Namun, potensi itu hanya akan menjadi kenyataan jika pemerintah berani meninggalkan pola pembangunan yang eksklusif dan jangka pendek. Dibutuhkan pendekatan yang holistik, inklusif, dan berbasis keadilan—yakni pembangunan yang tidak hanya mengejar angka produksi, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial, ekologis, dan ekonomi secara seimbang.
Tanpa perencanaan matang dan pelibatan aktif masyarakat lokal, program ini berisiko berubah menjadi proyek mercusuar: besar secara anggaran dan klaim, tapi hampa dalam manfaat nyata. Bila kritik diabaikan dan transparansi ditinggalkan, food estate hanya akan memperdalam ketimpangan dan meninggalkan jejak kerusakan jangka panjang.
Ketahanan pangan sejati tidak bisa dicapai melalui proyek yang berdiri di atas pengabaian terhadap petani kecil, masyarakat adat, atau lingkungan hidup. Ia hanya akan terwujud jika pemerintah berpihak pada rakyat, membuka ruang partisipasi, dan menjaga harmoni antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam.
Tanpa itu semua, ambisi besar bernama food estate tak lebih dari sekadar fatamorgana pembangunan yang pada akhirnya justru mengorbankan masa depan bangsa.