Pengantar
Opini mengenai pentingnya menegakkan aturan batas usia maksimal 60 tahun dalam Pilrek UNRAM 2025 ternyata memantik diskusi yang cukup luas. Tak hanya dibahas di forum-forum resmi, diskusinya juga meluas ke berbagai ruang digital seperti grup WhatsApp para akademisi, dosen, dan alumni. Beberapa rekan bahkan menghubungi secara pribadi—ada yang mengapresiasi, ada pula yang mengajak berdiskusi lebih lanjut. Ada pula yang beranggapan bahwa tulisan sebelumnya merupakan karya tulisan orang diluar pemikiran penulis. Oleh sebab itu, izinkan saya memberikan atmosfer sanggahan pemikiran untuk melengkapi Anatomi pemikiran yang sempat ditulis sebelumnya.
Salah satu respons yang menarik perhatian publik datang dari seorang guru kami yang juga merupakan akademisi senior UNRAM. Beliau menyampaikan sebuah sanggahan yang berbobot dan argumentatif, yang kemudian dimuat di dua media daring lokal: Jurnal Fokus dan Paragraf News. Dalam tulisan tersebut, pendekatan psikologi, sosiologi, demografi, dan statistik digunakan untuk menafsirkan usia 60 tahun bukan sebagai batas, melainkan sebagai peluang. Sebuah pendekatan yang segar dan patut dihargai sebagai bagian dari kekayaan intelektual dalam ruang akademik.
Namun, justru di titik inilah letak persoalannya: ketika pendekatan keilmuan yang bersifat kontekstual digunakan untuk menafsirkan ulang norma hukum yang bersifat normatif dan mengikat. Ketentuan tentang usia maksimal dalam jabatan struktural akademik bukanlah sekadar tafsir sosiologis, melainkan bagian dari rezim hukum administrasi negara yang harus ditaati.
UNRAM sebagai Cerminan NTB: Meneguhkan Integritas Akademik dan Kepercayaan Publik
Universitas Mataram (UNRAM) telah lama dikenal sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam konteks ini, unram bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai miniatur dan kiblat keilmuan yang mencerminkan keragaman budaya, potensi sumber daya manusia, good governance, taat regulasi, dan dinamika sosial yang ada di wilayah ini.
Namun, Untuk mempertahankan posisinya sebagai kiblat keilmuan sudah sepatutnya taat pada prinsip serta regulasi . Taat pada aturan bukan hanya sekedar kewajiban, tetapi juga merupakan fondasi untuk menciptkan atmosfer keilmuan yang sehat dan produktif. Dalam konteks ini unram memastikan taat pada aturan juga mencakup kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan lembaga akreditasi. Dengan memenuhi standar yang ditetapkan, unram tidak hanya akan mendapatkan pengakuan yang lebih luas, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang ditawarkan. Ini sangat penting, terutama dalam konteks persaingan global di dunia pendidikan tinggi.
Selain itu, unram juga perlu mengedepankan prinsip-prinsip good governance dalam setiap aspek operasionalnya. Ini termasuk keterlibatan semua pemangku kepentingan, seperti dosen, mahasiswa, dan masyarakat, dalam pengambilan keputusan. Dengan melibatkan berbagai pihak, UNRAM dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kebutuhan dan aspirasi semua pihak, serta menciptakan rasa memiliki yang lebih besar terhadap institusi.
Antara Logika Ilmu dan Kepastian Hukum
Saya menghormati sepenuhnya bahwa dalam teori perkembangan psikologi Erikson, usia 60 tahun adalah puncak generativitas. Erikson mengemukakan bahwa pada usia ini, individu berada dalam tahap “integritas vs. keputusasaan,” di mana mereka mulai mengevaluasi pencapaian hidup dan merencanakan masa depan. Jika individu merasa puas dengan pencapaian mereka, mereka cenderung mengalami integritas; sebaliknya, jika mereka merasa menyesal, mereka mungkin mengalami keputusasaan.
Dari sudut pandang sosiologi, beberapa teori dapat menjelaskan bagaimana usia 60 tahun memengaruhi peran sosial seseorang. Salah satunya adalah Teori Peran Sosial yang menekankan bahwa peran sosial yang diemban individu dapat berubah seiring bertambahnya usia. Pada usia ini, individu mungkin beralih dari peran aktif dalam dunia kerja menjadi peran yang lebih berfokus pada keluarga atau komunitas. Selain itu, Teori Penuaan Berbasis Sosial (Social Gerontology) juga relevan dalam konteks ini. Teori ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan dukungan sosial bagi individu yang menua. Pada usia 60 tahun, dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan mental dan emosional. Interaksi sosial yang positif dapat membantu individu merasa lebih terhubung dan berdaya, mengurangi risiko isolasi sosial yang sering dialami oleh orang lanjut usia. Saya juga tidak menampik bahwa dari sisi demografi dan harapan hidup, usia 60 tahun bukan akhir dari daya produktif seseorang. Tetapi pemilihan rektor bukan ajang pembuktian kapasitas personal semata. Ia adalah proses administratif dalam struktur pemerintahan, dan karena itu tunduk pada sistem hukum yang mengatur jabatan publik.
Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 Pasal 4 huruf C dan perubahannya melalui Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018 menyatakan dengan jelas: calon pimpinan perguruan tinggi negeri berusia paling tinggi 60 tahun pada saat masa jabatannya berakhir. Tidak ada frasa “belum 61 tahun”. Tidak ada ruang untuk tafsir longgar.
Peraturan ini menyatakan bahwa calon pimpinan PTN harus berusia maksimal 60 tahun pada saat masa jabatan pimpinan yang sedang menjabat berakhir. Ketentuan ini bersifat absolut, sehingga tidak memberikan ruang untuk interpretasi yang memperpanjang batas usia menjadi “sebelum memasuki ulang tahun ke-61.”
Menjaga Keseimbangan antara Ilmu dan Kepastian Hukum
Dalam konteks pemilihan rektor, pendekatan keilmuan tentu penting untuk memperkaya perspektif. Namun demikian, kita perlu mencermati bahwa ketika pendekatan interdisipliner digunakan untuk menggeser atau melampaui batas-batas hukum yang sudah ditetapkan secara normatif, maka kita perlu waspada terhadap implikasi jangka panjangnya. Jika hari ini ruang dibuka untuk menafsirkan ulang ketentuan usia, maka bukan tidak mungkin ke depan muncul tafsir lain yang menyentuh prinsip akuntabilitas dan meritokrasi. Konsep seperti ‘kearifan lokal’ atau ‘psikologi organisasi’ bisa saja dipakai untuk menunda evaluasi atau mengaburkan prinsip tata kelola. Karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga agar ilmu dan hukum tetap berjalan beriringan dalam memperkuat tanggung jawab kelembagaan.
Di titik inilah pertanyaan penting perlu diajukan: apakah kita ingin kampus berjalan dalam bayang-bayang tafsir yang kabur, atau berpijak pada prinsip-prinsip hukum yang jelas dan teruji? Pilihan tersebut akan mencerminkan arah kematangan demokrasi akademik yang sedang kita bangun bersama.
Tentang Prof. Mahfud MD dan Prof. Mohammad Nuh
Dalam sanggahan, penulis menyebut beberapa tokoh bangsa yang tetap aktif di usia di atas 60 tahun sebagai contoh bahwa usia tidak menghalangi kepemimpinan. Tetapi perbandingan ini mengabaikan fakta penting: jabatan seperti menteri, Ketua Dewan Pers, atau pejabat non-akademik tidak tunduk pada regulasi pendidikan tinggi. Mereka tidak diangkat melalui sistem senat universitas yang dikawal oleh peraturan Kemendikbudristek.
Jabatan rektor adalah jabatan administratif akademik yang tunduk pada sistem hukum tata usaha negara (TUN). Sebagai bagian dari struktur tata kelola pendidikan tinggi, jabatan ini tidak hanya membawa tanggung jawab akademik, tetapi juga administratif, dengan konsekuensi hukum yang melekat sebagaimana jabatan negara lainnya. Oleh karena itu, ia tidak bisa dikecualikan atau disamakan dengan jabatan publik non-struktural di luar sektor pendidikan, dan wajib mematuhi norma yang telah ditetapkan dalam regulasi negara.
Putusan MA dan Prinsip Erga Omnes
Yang paling serius dari semua ini adalah bahwa sanggahan sama sekali tidak menyinggung Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 258K/TUN/2024 yang telah membatalkan pengangkatan seorang dekan karena melebihi batas usia. MA menyatakan bahwa melanggar batas usia adalah cacat hukum substantif dan prosedural, dan karena itu keputusan tersebut berlaku erga omnes—berlaku umum, tak hanya pada kasus itu saja. Hal ini sejalan dengan poin f dalam Surat Klarifikasi Kemdiktisaintek No. 0163/M.A/HK.10/2024 yang menyebut:
“Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berlaku untuk semua orang (erga omnes) yang memiliki kekuatan sama dengan peraturan perundang-undangan dan wajib untuk dilaksanakan oleh pejabat TUN, sehingga jika putusan berkekuatan hukum tetap dimaksud tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN maka pejabat TUN dimaksud dapat dikenakan sanksi administratif berupa sanksi sedang (vide Pasal 72 ayat (2) juncto Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan) dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelanggaran disiplin.”
Lebih jauh, pada poin g, surat tersebut menegaskan bahwa:
“Surat Sekjen tertanggal 8 Maret 2022 telah menjadi fakta hukum dalam persidangan gugatan TUN atas pengangkatan Dekan FK UNSRAT Periode 2023–2027 bernama Prof. Dr. dr. Nova Hellen Kapantaow, DAN. M. Sc.Sp.KG, dan telah dikesampingkan Majelis Hakim Pengadilan TUN pada tingkat pertama yang dikuatkan dalam putusan tingkat banding dan tingkat kasasi.”
Ini mempertegas bahwa Surat Sekjen tidak bisa dijadikan dalih hukum dan bahwa penolakan terhadap calon yang melampaui usia bukan sekadar sikap administratif, melainkan kewajiban legal yang mengikat.
Membiarkan calon rektor yang melampaui usia tetap masuk bursa Pilrek berarti membuka peluang sengketa hukum di kemudian hari. Tak hanya itu, keputusan-keputusan administratif yang diambil oleh rektor terpilih berpotensi cacat hukum, dan dapat dibatalkan seperti yang terjadi dalam kasus UNSRAT. Ini tentu membawa beban administratif yang berat bagi universitas: mulai dari implikasi terhadap SK pengangkatan pejabat struktural, penandatanganan ijazah, hingga legitimasi kebijakan strategis kampus yang dibuat selama masa jabatannya. Anehnya, dalam situasi yang mengandung risiko seperti ini, Senat Universitas Mataram tidak mengambil langkah bijak sebagaimana yang dilakukan Senat UNIMA, yang secara proaktif berkonsultasi resmi ke Kementerian untuk meminta tafsir hukum yang sahih sebelum menetapkan tahapan Pilrek. Mengapa UNRAM memilih jalan yang justru bisa memperkeruh kepastian hukum?
Penutup: Menjaga Hukum, Merawat Institusi — Dari Kampus untuk Negara
Saya mengapresiasi semangat agar kampus tidak menjadi birokrasi kaku yang menolak dinamika keilmuan. Namun dalam soal Pilrek, kita tidak sedang berbicara tentang idealisme akademik yang lentur, melainkan tentang kehati-hatian dalam menata urusan publik. Pemilihan rektor merupakan bagian dari administrasi negara yang harus tunduk pada aturan yang berlaku, baik terkait status jabatan administratif (termasuk kesetaraan eselon) maupun masa pensiun ASN yang relevan.
Jika kampus ingin membuka ruang bagi perubahan batas usia, maka yang tepat bukanlah membiarkan Majelis Senat Universitas menafsirkan secara sepihak ketentuan “berusia paling tinggi 60 tahun” dalam peraturan menteri, melainkan mendorong revisi terhadap regulasi yang berlaku secara nasional. Hal ini mencakup Permenristekdikti tentang pengangkatan pemimpin PTN, serta penyesuaian dalam peraturan menteri terkait statuta dan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) Universitas Mataram.
Peraturan Senat Universitas bukanlah instrumen yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan ulang peraturan menteri, apalagi setelah terbitnya Putusan MA dalam kasus UNSRAT yang telah memberikan landasan formal terbaru dan mengikat secara erga omnes. Justru di sinilah pentingnya kampus menunjukkan keteladanan dalam penegakan hukum dan pengelolaan administrasi publik yang bertanggung jawab.
Kita semua tahu, kampus adalah benteng terakhir akal sehat dan etika publik. Justru karena itulah, kampus harus menjadi pelopor dalam menunjukkan bahwa tata kelola publik harus bersandar pada kepatuhan hukum dan tanggung jawab administratif. Menjadi akademisi berarti juga memiliki kesadaran bahwa setiap keputusan dalam lingkup negara—termasuk pemilihan rektor—harus dipertimbangkan secara cermat, bukan hanya dari sisi moral atau psikologis, tetapi juga dari sisi hukum tata usaha negara.
Pilrek adalah bukan sekadar tentang siapa yang menang hari ini, tetapi tentang bagaimana kita menjaga keberlangsungan institusi esok hari. Dengan menegakkan kepatuhan hukum, kita tidak hanya melindungi proses, tetapi juga menjamin keabsahan setiap keputusan yang akan diambil oleh pemimpin terpilih. Di sinilah tanggung jawab kolektif kita sebagai komunitas akademik diuji: apakah kita memilih jalan kehati-hatian, atau justru terjebak dalam godaan pembenaran sesaat.

Tulisan ini disusun sebagai tanggapan atas artikel “Makna Usia 60 Tahun dalam Perspektif Psikologi, Sosiologi, Demografi, dan Statistik” yang ditulis oleh Bapak MA Muazar Habibi di media daring : https://jurnalfokus.com/2025/03/25/makna-usia-60-tahun-dalam-perspektif-psikologi-sosiologi-demografi-dan-statistik-sanggahan-atas-pembatasan-usia-pilrek-unram/ dan https://www.paragrafnews.id/2025/03/makna-usia-60-tahun-dalam-perspektif.html
Kontributor: (Martoni Ira Malik)