Tidak ada terdengar suara anjing menggonggong di sore hari, tandanya sudah tidak ada lagi yang melatihnya agar jinak. Benar, ayahku selalu melatihnya ketika hari beranjak sore.
Sekarang aku melihat anjing peliharaanku hanya tertidur pulas, seolah anjing itu bahagia karena mendapat libur berlatih. Aku kesal melihatnya tertidur tanpa rasa gelisah, berbeda denganku.
Sudah menginjak seminggu ayahku pergi ke luar kota, aku tahu ia akan menginap sekitar tiga minggu, namun rasanya ayahku sudah berbulan-bulan di sana.
Sudah seminggu pula aku berangkat sekolah menggunakan ojek online, karena biasanya ayah yang mengantarku, sebab tempat ia bekerja searah dengan sekolahku, sedangkan tempat ibu bekerja sangat jauh dengan sekolahku.
Dalam seminggu ini, hanya dua kali ibu dan ayahku mengobrol melalui telepon, aku selalu menyelip untuk menanyakan “ayah kapan pulang?” dan selalu dijawab “segera.” Jawaban itu tidak membuat rasa gelisahku berkurang sedikitpun.
“Sudah, makan saja dulu, ayahmu akan segera pulang jika pekerjaannya selesai,” ucap ibu yang melihatku hanya memainkan sendok di meja makan.
“Jika ayah tidak kembali, biarkan saja! Biar tidak ada lagi yang melarang kita keluar bermain,” tambah Dio, adik laki-lakiku.
Memang, ayah akan melarang kita untuk bermain di luar rumah, sedangkan adikku gemar sekali bermain di luar rumah bahkan menjelajah sampai dusun sebelah, begitulah kelakuan anak yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama itu.
**
Tiga minggu berlalu. Seperti biasa, aku berangkat sekolah dengan wajah tanpa senyuman. Rasanya seperti ada yang hilang di hari-hariku, membuat rasa gelisahku bertambah saja.
Saat aku pulang sekolah, kudapati rumah dalam keadaan sepi, aku menghela napas, berpikir bahwa sampai kapan aku dihadapi dengan suasana sepi ini. Bahkan rasanya aku sudah berteman dengan sepi selama ayah ke luar kota.
Tak lama kemudian telepon ku bergetar tanda pesan masuk, aku sudah tahu itu pasti pesan dari ibu dan isinya pasti “kalau sudah pulang, pesan saja makan di warung sebelah dan jangan lupa belajar.”
Kalimat itu setiap hari ibu ucapkan melalui pesan. Jika ayahku ada di sini, ia akan memasak makanan untukku. Itulah yang aku rindukan pada ayah. Tetapi, walaupun ibu sibuk, ia tetap baik bahkan tidak pernah marah padaku.
“Sudahlah, toh juga sebentar lagi ayah pulang,” ucapku lesu.
“Masih saja memikirkan ayah, ia tidak akan pulang, pekerjaannya pasti masih banyak,” sahut adikku sedang main game.
Aku memasang raut kesal dan langsung menuju kamar mengganti seragamku dengan baju kaos dan celana pendek, menghidupkan AC kemudian membuka catatan pelajaran hari ini. Rasanya sedih sekali jika ayah mengulur waktu untuk pulang.
Mencoba menyibukkan diri adalah jalan keluarnya, awalnya aku berpikir begitu, ternyata salah, pikiranku tetap saja merujuk ke ayah dan selalu bergumam “ayah kapan pulang?”
Mataram, 18 Desember 2020