Malam ini, dingin dan gemuruh tak merelakan aku lelap. Angin yang dengan lancangnya mengecup setiap inci kulit. Membuat gigil di antara tulang dan daging semakin terasa ngeri.
“Nona, kamu bisa kembali ke dalam.”
Aku enggan, aku menolak kembali ke dalam sana. Aku ingin dipeluk ibu! Aku ingin didongeng ayah! Aku melangkah perlahan, terseok-seok tak tahu arah dan tujuan.
“Nona, jangan pergi terlalu jauh! Nanti kau tersesat.”
Bagaimana mungkin aku bisa tersesat, ini kampungku. Aku hafal gerobak Kang Ujang si penjual sayur di depan gang. Aku juga ingat pos ronda yang ada di pertigaan jalan. Aku ingat semuanya!
“Nona, ini malam. Kembalilah ke tenda. Kami takut guncangan susulan kembali terjadi.”
Lelaki ini memang tuli! Aku ingin ibu dan ayahku. Mereka pasti mencariku!
“Di mana rumahku? Kenapa semua terasa berbeda? Ada apa ini?” cercaku pada lelaki itu.
“Rumahmu telah rata nona.”
Lelucon macam apa itu? Bukankah tanah itu milik kami? Kenapa harus diratakan?
“Antarkan aku pada ayah dan ibu, kumohon,” Pintaku memelas.
Entah bagaimana respon lelaki itu, aku tak melihat raut wajahnya. Apa karena malam ini bulan sedang enggan menyinari?
“Kami masih berusaha mencari keduanya di antara reruntuhan rumah, nona.”
Bagaimana orang-orang itu bisa merobohkan rumahku kala orang tuaku mungkin masih lelap dalam tidurnya? Kenapa mereka sungguh kejam? Kucoba lepaskan rengkuhan lelaki asing ini. Menyeret sisa-sisa kekuatanku untuk menyusuri jalan yang tak lagi terasa mulus ini.
“Nona! Anda belum terbiasa tanpa pengelihatan, kami mohon kembalilah ke tenda. Kami takut gempa susulan kembali terjadi!”
Sialan alam semesta! Mengapa kau menghukum kami begitu hebatnya?
Semesta, 2021