29.5 C
Mataram
Friday, October 4, 2024
spot_img

Melihat Indonesia dari Oi Mangge

Memasak sebagai seni sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Penemuan makanan oi mangge, dan semacamnya telah masuk dalam khanasah makanan daerah Mbojo. Itu adalah peristiwa kesenian yang unik. Makanan sebagai gabungan seni, akulturasi kebudayaan dan pengetahuan ilmiah juga tercermin dari penemuan bumbu fo’o, utambeca parongge, tahu, tempe, dan trasi. Jadi makan memang tidak cuma soal urusan perut tetapi juga pengetahuan dan kesenian.

Tak hanya tentang kesenian, jika kita mengkaji lebih dalam lagi, makanan yang ada di nusantara hakekatnya bermakna sebagai simbol persatuan: satu kesatuan. Kita bisa saksikan, bagaimana menyatunya antara asam di darat dengan garam di laut dalam racikan oi mangge (air asam dalam Bahasa Bima), menyatunya rasa pedas dan kecut dalam racikan sepat (makanan asal Sumbawa).

Saya sebenarnya baru-baru ini menyadari bahwa poin ketiga pancasila tertuang dalam makanan. Bagi saya soal makanan, ya tinggal dimakan saja. Begitu lapar, sendok nasi, ambil lauk, suap, kunyah, lalu telan. Itu saja. Tak ada yang namanya proses berfikir, apalagi berseni.

Konsep persatuan ini hadir dalam kepala saya saat menyantap oi manggge ketika makan siang disuatu hari. Saat itu, saya baru saja selesai beraktivitas di kampus. Sebagai mahasiswa akhir atau siapapun yang masih aktif di organisasi, telat makan sudah menjadi budaya hidup. Jika ada mahasiswa yang aktif berorganisasi makan tepat waktu, kualitas dirinya perlu dipertanyakan. “Ah itu alasan”. Mungkin saja iya, mungkin tidak. Yang pertama karena tak ada perempuan yang menyiapkan makanan. Kedua, tak tau mau makan apa. Terakhir, tak ada waktu buat makan.

Selepas itu, saya meracik oi mangge. Sederhana sekali caranya, kita cukup mengambil beberapa asam matang yang berwarna cokelat tua. Asam itu dibejek (diremas) ke dalam air putih. Kemudian ditambah beberapa butir bawang merah, garam dan micin. Jika mengingkan rasa pedas, tambahkan beberapa butir cabai.

Oi mangge tidak asing ditelinga masyarakat Bima. Banyak yang berpendapat bahwa oi mangge merupakan simbol kesusahan, karena bahannya praktis dan tidak membutuhkan biaya banyak untuk membuatnya. Oi mangge juga menjadi makanan pokok mahasiswa Bima yang merantuau saat akhir bulan: saat keadaan ekonomi menipis. Tapi bagi saya, tidak. Oi mangge merupakan simbol kesederhanaan, juga lambang kesetaraan kelas. Jika anda menyantapnya, anda sama sekali tidak terganggu dengan rupa dan rasa oi mangge. Sensasi pedas dan kecut menyatu dengan baik. Tentunya lapar yang anda alami akan hilang.

Sambil mengaduk-mengaduk ragam bahan itu, saya melihat (membayangkan) seperti Indonesia: Ragam suku, budaya, agama, ras, hidup dan tumbuh bersama. Fokusnya bukan pada persoalan enak, nikmat atau lainnya. Tapi kenyang. Itu intinya.

Di Indonesia, kita tak butuh pemerintah yang wajahnya tampan/cantik. Tak perduli latar belakangnya bagaimana (yang jelas rekam jejaknya tak bertentangan nilai pancasila), yang jelas bisa membahagiakan rakyat. Kita tak butuh pemimpin yang visi dan misinya bagus secara teks, namun kebijakannya menindas dan mencekik rakyat. Yang penting rakyat sejahtera, itu intinya.

Setelah oi mangge siap dinikmati, selanjutnya saya sibuk melahap makanan yang saya kenal sejak kecil dulu. Sementara kawan saya sibuk melihat oi mangge dengan perasaan galau karena rupa dan rasanya. Saya justru sibuk menambah lagi nasi. Jadi konsentrasi orang itu berbeda-beda. Itulah kenapa sumber kesedihan dan kegembiraan manusia juga berbeda-beda.

Tak perlu ribet, yang penting kenyang.

Tak perlu visi dan misi, yang penting rakyat makmur dan bahagia. 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles