Pintar itu penting, tapi jujur itu mendesak. Krisis Yunani misalnya, ditandai oleh hal yang mengejutkan: negeri itu ternyata tidak jujur dalam utang. Jumlah yang sebenarnya ternyata lebih besar dari yang diakui. Teknik negara menyembunyikan utang ternyata ada. Utang terbesar negara bukan kepada negara tetangga tapi kepada rakyat negara itu sendiri.
Banyak negara besar ternyata diancam kebangkrutan karena ketidakjujurannya. Negara semacam itu penuh utang bukan karena miskin tapi karena ada yang sangat boros. Untuk mengisi satu perut di negara kaya bisa setara 20 perut di negara miskin. Apakah karena perut mereka terlalu besar? Tidak, kaya miskin sama bentuk perutnya, yang berbeda adalah keinginan. Keinginan itulah induk keborosan. Tidak ada satupun jenis kekayaan yang bisa melayani keborosan, apalagi jika dasarnya tidak benar-benar kaya, tapi boros! Maka keborosan itu bisa dilayani dengan satu cara: bohong.
Tapi kebohongan terbesar negara bukan soal besaran utang. Utang uang hanya teknikal, yang lebih bahaya adalah utang fundamental, utang yang skalanya tidak bisa dirampungkan hanya dengan uang. Utang informasi misalnya. Kedudukan informasi dalam hidup seseorang ternyata amat fundamental. Anda boleh diguyur berbagai fasiltas, tapi ketika ada satu informasi yang disembunyikan untuk Anda, maka Anda akan merasa tidak dihargai. Ini bisa berbahaya. Ia akan terus mencari teman, membuat kelompok, dan butuh jalan keluar kalau perlu dengan menumbangkan pemerintah.
Itulah sebabnya negara yang surplus secara ekonomi tapi minus informasi tidak banyak arti. Rakyat tidak cukup diberi makan, tapi juga perlu diberi informasi. Kedudukan roti tidak lebih tinggi dari kebutuhan atas informasi. Tidak mengapa lapar nasi, sepanjang tidak lapar informasi. Lapar ditengah kejujuran lebih menguatkan ketimbang kenyang hasil kebohongan. Libia dan Kuba adalah conto h teraktual dari ilustrasi ini. Setelah utang informasi, ada utang lain yaitu utang keadilan. Kerugian atas uang tidak sedramatik rugi keadilan. Rugi uang mudah dilupakan, tapi rugi keadilan akan berbuntut panjang. Orang yang mengikrarkan “saya dizalimi” adalah pihak yang sudah merasa di puncak penderitaan dan siap mengibarkan bendera perang.
Bagaimana dengan Indonesia? Rasanya, lengkap utang kita, mulai dari soal uang, informasi, dan keadilan. Itu kabar buruknya. Kabar baiknya, dibanding negara pintar dan kaya, skala bahaya kita tidak sebesar rmereka. Ternyata makin pintar makin bahaya jika kejujuran tidak ada. Walau yang terakhir dari semua itu pasti sudah tidak pintar, juga tidak jujur. Semoga yang terakhir itu bukan kita.