Bersama dedaunan yang mulai berguguran, juga angin sore hari yang menyejukkan. Kamu dan aku menengadah menatap langit yang perlahan membara begitu indah.
“Kamu tahu ….”
“Engga,” jawabku polos.
Kamu tersenyum, gemas. Sepertinya itu sebuah awal dari topik yang akan kau buka di sore ini, bukan pertanyaan. Maafkan kebodohanku. Kamu menghela nafas dan berkata, “Aku menyukai saat pohon-pohon di danau ini berguguran. Rasanya tenang dan beban yang seharian dipikul seakan luruh bersamaan dengan daun yang gugur itu.”
Aku diam, mencoba menelisik bola mata coklat di wajahmu yang sedang menerawang itu. Terbuat dari apa sebenarnya kamu? Hingga, hanya dengan bernafas saja aku sudah jatuh dalam sekali. Kamu menatap balik tepat pada mataku yang menatapmu juga.
“Coba kamu nikmatin udara ini, tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan,” Instruksimu seperti pelatih yoga.
Aku mengikuti dan rasanya menenangkan, sangat. Sebelum gadis berambut sebahu itu mendekat ke arah tempat kita duduk. Ah, tempatmu duduk tepatnya. Sekilas, aku lihat matamu berkilat indah. Seakan benar-benar kagum dengan apa yang kau pandang kini. Ya, gadis itu. Yang merebutmu dariku. Ah tidak, kamu memang bukan milikku sejak awal bukan?
“Hei, mau naik perahu keliling danau?” tanyanya.
Kamu tersenyum dan langsung bangkit. Menggandeng gadismu menjauh dan melupakan aku yang terlihat menyedihkan ini.
“Kau tak mau ikut?” tanya gadis berambut sebahu itu, kepadaku.
Oh, Tuhan. Dia memang benar-benar cantik dan begitu baik. Seperti malaikat. Tapi, kembali melihat tatapan memujamu untuknya. Aku ingin menghilangkannya saja.
“Gimana?” tawarnya lagi.
Aku tersenyum, setidaknya masih bersamamu kan? Meski gadis itu bersama kita. Menurutku, bersamamu dan melihatmu tertawa meski bukan untukku itu tak apa. Asal bersamamu.
“Engga perlu,” bukan aku, tapi kamu yang menjawabnya. Aku tersenyum kaku, ingin membantah sebelum kamu menambahkan, “dia udah ada janji katanya,” bohong.
Aku makin tersenyum, apa senyumku kurang miris untuk memberitahukan kalau aku kecewa? Iya kecewa yang seharusnya tidak boleh ada. Aku bukan siapa-siapa yang harus melarang kamu. Aku menganggap itu sebuah pengusiran secara halus.
“Pergi dulu,” anggukku dengan mata nanar.
Terus menjauh kakiku dari tempat kita duduk tadi, mungkin kamu sudah berlayar di perahu kecilmu bersama gadis yang merenggut hatimu itu. Aku tersenyum lagi. Bukankah tingkat kecewa tertinggi adalah tersenyum saat air matamu jatuh? Iya, aku melakukannya.
“Kamu menangis untuknya lagi?”
Itu, orang yang aku harap bisa aku balas perasaannya dibanding patah hati terus-menerus denganmu. Tapi tak bisa. Aku tersenyum melihatnya duduk di sebelahku. Menempelkan minuman dingin pada pipiku yang sebenarnya sudah beku karena angin sore ini yang menusuk tubuhku telak. Aku mengangguk untuk pertanyaannya barusan.
“Kenapa tidak membalas perasaanku saja? Saling mengasihi, bahagia. Happy ending,” celotehnya, aku tertawa.
“Kamu tahu, kisah itu ga punya yang namanya happy ending. Karena yang namanya bertemu pasti akan berpisah,” beberku sembari membuka kaleng minuman dan menenggaknya.
“Tapi, seenggaknya kita bakal dipisahin sama kematian. Bukan perasaan yang ga berbalas,” sindirnya telak.
Aku tertawa, lebih pada tertawa miris pada kehidupan yang aku bingung maunya apa. Aku tak pernah benar dalam menebak kehidupanku sendiri. Diriku yang tak beruntung.
“Memang begitu, dunia betul-betul jahat. Ga ngizinin aku balas perasaan kamu, tapi semesta juga ogah bekerja agar perasaanku dibalas,” kataku menerawang angin.
Sore yang dingin, dengan perasaan yang dingin pula. Tak mau jika tidak dihangatkan kamu.
Sore hari, 2021