Oleh: Michael Ayyasy Waroy
Hidup di sebuah komunitas dalam suatu wilayah dan negara, manusia pada hakikatnya mempunyai satu kesamaan yakni individu sebagai makhluk sosial dan spiritual. Tetapi dalam suatu wilayah negara mempunyai silsilah dan sejarah yang berbeda-beda, entah itu budaya, ras, maupun agama. Sehingga pada keadaan tertentu, legitimasi setiap kelompok yang kuat kemudian melahirkan perbedaan dalam masing-masing kelompok. Pada era modern ini, dalam suatu kelompok tidak hanya mempunyai satu kesamaan yang tunggal tetapi heterogen dan multikultural, karena faktor globalisasi yang membuka gerbang manusia untuk masuk ke dalam dunia politik, ekonomi, sosial maupun lainnya.
Dengan perbedaan yang dimiliki dan kekhasan tersendiri, tampaknya masih banyak pengklaiman tentang kebenaran yang mutlak sendiri dalam masing-masing kelompok, salah satunya kebenaran dalam hal beragama. Agama lahir dari silsilah dan sejarah berbeda, agama mampu memposisikan manusia untuk menyandarkan dan menempatkan pemeluknya pada kedamaian dan kebahagiaan individu. Dengan agama, manusia bisa saling menampilkan dan menciptakan suatu ledakan revolusi yang berwatak kekerasan, konflik, dan disintegrasi. Dengan agama pula suatu masyarakat bisa saling membantai, melawan, dan membasmi kelompok masyarakat lainnya. Bahkan masyarakat dengan ras, budaya, dan bahasa yang sama bisa saling membantai karena perbedaan agama.
Di Indonesia, peristiwa Ambon, Kupang, Mataram dengan perusakan tempat ibadah merupakan bukti kongkret atas pluralitas agama yang tidak mampu disikapi dengan arif yang kemudian dipolitisir secara vertikal, akan memunculkan kemelut yang berkepanjangan.
Akhir-akhir ini mencuat ke permukaan umum beberapa masalah tentang intoleransi antara umat beragama, mulai dari Yarussalem di Israel, Rohingya di Myanmar, Uighur di Cina, sampai netizen Indonesia yang masih suka sindir-menyindir. Dalam rentan waktu saat ini, sontak isu tersebut menyita perhatian dunia, dengan latar belakang permasalahan yang berbeda dan bisa berdampak pada keutuhan berwarga negara diseluruh dunia.
Karena agama merupakan sesuatu yang nampak dan menjadikan pemeluknya percaya kebenarannya masing-masing. Sehingga menyebabkan setiap pemeluk agama melakukan klaim kebenaran (claim truth), karena agama fungsinya adalah memberikan kepastian. Klaim itu sangat baik karena disana letak kepastian dan keteguhan iman. Dalam relasi dan antar pemeluk agama, klaim semacam ini menyebabkan benturan bahkan permusuhan yang pada akhirnya menghasilkan malapetaka bagi manusia.
Dalam hubungan beragama dan hubungan antara mayoritas-minoritas, acap kali bersifat antagonistic sehingga selalu memunculkan persoalan yang menuju diskriminasi dan penindasan yang berekskalasi oleh yang besar maupun kecil, sampai ke pembasmian etnis (genosida). Secara cemerlang, sebenarnya adanya mayoritas dan minoritas tidak terlalu mempengaruhi rentan terhadap konflik, warna yang berbeda justru membentuk pelangi dalam kehidupan beragama yang rukun dan indah. Keseimbangan antar keduanya diharapkan akan semakin membentuk komposisi sosial yang ada. Ahmad wahib, dalam bukunya “Pluralisme Agama” menekankan beberapa pokok penting dalam menyikapi hal tersebut sehingga tidak terjadi chaos dan menimbulkan intoleransi.
Dalam pembinaan sikap toleransi beragama, mayoritas tentunya harus bisa menjadi sentral pokok dan penting dalam hal tersebut. Mengambil inisiatif dalam terputusnya jalur komunikasi, berdialog secara terbuka dan bijak, memahami dan mengerti kelompok agama lain, dan menghilangkan kecurigaan yang tidak perlu. Kemunculan intoleransi yang bersumber dari berbagai hal seperti konstalasi sosial, politik, dan ekonomi, membuat berbagai pihak harus mendorong pluralitas beragama.
Memandang manusia lain dengan penuh kasih sayang, menanggapi perbedaan dengan keterbukaan, memberikan ruang yang sama dalam kebebasan hak masing-masing, sehingga tidak selalu memvonis orang lain menjadi sesat dan toleransi tetap terjaga.
Dalam permasalahan yang terjadi pada saat ini, ledakan intoleransi tidak hanya dipicu secara horizontal kemudian muncul kepermukaan, konstalasi yang berkembang melalui media informasi sehingga menimbulkan persepsi yang kurang menyedapkan dalam benak umat beragama di dunia. Dengan yang mencuat di New Delhi, India kembali menegaskan permasalahan umat beragama masih belum usai. Kebebasan berpikir dalam bingkai berdemokrasi, menimbulkan persepsi antar umat beragama disana, sehingga terpengaruhnya hal tersebut menjadi adu ketangkasan, kemudian dialog keagamaan menjadi terputus.
Agama merupakan hal yang sensitif, sifatnya yang menusuk batin manusia dan sekaligus membentuk identitas pribadi sosial, sehingga rentan terhadap konflik. Agama pada hakikatnya adalah refleksi yang membuat manusia menjadi idealisme terhadap suatu tatanan sosial yang penuh keteraturan, perdamaian, dan cinta kasih. Agama manapun, yang secara formal dalam kenegaraan mengutuk keras adanya kekerasan, menghina, bahkan saling membasmi.
Dalam pandangan Tuhan yang menciptakan manusia, setiap orang bernilai pada dirinya sendiri, seseorang sekali diciptakan ia bernilai bagi dirinya sendiri dan bernilai di mata Tuhan. Setiap agama pada manusia harus mempunyai rasa aman, agama tidak boleh menciptakan rasa ketakutan dan mengancam. Agama harus baik terhadap siapa saja dan posisi manusia yang bermartabat (human dignity) manusia tidak boleh menjadi pion dan dipakai semata-mata sebagai sarana—yaitu sarana menjadi kaya dan sarana negara untuk mencapai sebuah tujuan.
Energi sosial sangat potensial dalam perbedaan, karena acap kali dalam hal tersebut mengintegrasikan penafsiran dan ketangguhan berbagai kelompok dengan dalil masing-masing tentang kegigihan dalam menciptakan sesuatu. Sehingga dalam ruang lingkup yang sama dengan perbedaan dan kekhasan masing-masing menuju masyarakat yang madani dan maju membuat energi sosial dalam perbedaan agama sangat diperlukan. “Penekanan orang beragama harus rendah hati, tidak ada yang lebih menelanjangi kebohongan seseorang daripada kalau ia berbicara tentang Tuhan dengan arogan, sombong, dengan menghina mereka yang berbeda,” (Nurkholis Majid).
Di dunia yang penuh kekerasan, kemiskinan, kekejaman dan keadaan putus asa, dimana orang-orang kurang makan perlu dibutuhkan agama-agama yang menjadi rahmatan lil alamin, atau dalam kutiapan Karl Marx “Agama hadir sebagai tempat bersandar dan mencurahkan keluh kesah manusia.” Perbedaan agama harus bisa kita sikapi dengan penuh kesadaran membawa diri tidak sombong, senantiasa dalam kesadaran diri bahwa kita sendiri tidak memadai, bahkan terhadap yang kita imani sendiri. Kalau kita menjadi kubu yang menolak kekarasan, sekaligus rendah hati, kita dalam segala keterbatasan akan menjadi sinar harapan bagi banyak orang yang hampir tanpa harapan. Perbedaan bukanlah sebuah masalah yang berarti, karena hakikatnya kita semua adalah manusia yang sama.