Oleh : AHMAD BADAWI (Ketua FMN Cabang Mataram 2024)
Seluruh negara di penjuru dunia ini mengakui bahwa pendidikan adalah aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa dan negara, Indonesia sebagai negara baru yang belum 1 abad umurnya mengerti dan paham sejak berdirinya, diberbagai dasar negara menempatkan Pendidikan sebagai sebuah hal yang penting untuk menuju negeri yang berdaulat dan berdikari diatas tanah sendiri. Setiap tahunnya pada tanggal 2 Mei masyarakat seantero negeri ini merayakan Hari Pendidikan Nasional seakan-akan momentum ini untuk mengingatkan bagi seluruh Masyarakat bahwa Pendidikan adalah bekal bagi kemajuan negeri ini. Hal demikian patut di renungkan sedalam-dalamnya apakah Pendidikan sesuai dengan harapan diawal pendiri negeri ini atau sebaliknya.
Menelisik lebih dalam kondisi pendidikan di Indonesia, selepas penjajahan yang dilakukan oleh kolonial belanda para tokoh-tokoh awal negeri ini seperti soekarno, moh.hatta dkk sangat detail mengamanatkan agar pendidikan memiliki posisi yang strategis bagi kemajuan bangsa dilihat dari implementasinya dan peraturan-peraturan yang diterbitkan seperti UU No. 4 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, hal demikian tentu dilatar belakangi atas pengaruh akibat dari kekurangan sumber daya manusia yang kompeten untuk diorientasikan pada kerja-kerja profesional yang dibutuhkan oleh pemerintahan hal tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kolonial belanda sebelumnya namun dengan orientasi yang berbeda, belanda untuk orientasi pasar serta kerakusannya dan rezim awal kemerdekaan untuk membangun negeri. Setelah pergantian rezim lama ke yang baru, nuansa dunia dan dalam negeri yang baru penuh darah dan kuasa merubah rute dan orientasi pendidikan di Indonesia.
Keberpihakan rezim baru ”soeharto” pada pihak modal barat telah tampak sejak ia bertengger di puncak kekuasaan, pada tahun 1967 di jenewa perhelatan Indonesian Investment Conference sebagai pertemuan perdana bagi negera Indonesia dan korporasi raksasa internasional yang menentukan cara kerjasamanya. Hal demikian menumbuhkan orientasi baru bagi pemerintahan untuk menjalankan seluruh hal-ikhwal di Indonesia, dari sumber daya alam, sumber daya manusia hingga pengelolaan pasar didalam negeri serta pendidikan di Indonesia.
Namun kerjasama-kerjasama ini tentu tidak berkembang baik namun mengalami kemunduran-kemunduran dan mampu menjaga stabilitas ekonomi Indonesia hingga rawan untuk jatuh ke jurang krisis, puncaknya pada tahun 1994 pada saat Indonesia bergabung di dalam World Trade Organization(WTO)untuk bergabung di dalam organisasi tentu tidak hanya berjabat tangan melainkan ”apa yang kudapat atau apa yang kau berikan” sehingga Indonesia setuju untuk mengikuti kesepakatan yang biasa disebut dengan General Agreement Trade on Service (GATS), singkatnya dalam kesepakatan ini memiliki muatan untuk menempatkan sektor publik kepada sektor swasta untuk meringankan beban negara ala sistem kapitalistik sesuai dengan anjuran ekonomi ala International Monetary Found (IMF) untuk dapat mengurangi beban luar negeri Indonesia yang perkirakan sebesar 30-40 % dari APBN setiap tahunnya hal ini lah kemudian menjadi faktor pendorong untuk liberalisasi, privatisasi, komersialisasi pendidikan tinggi menjadi syarat penyehatan ekonomi Indonesia demi terciptanya pertumbuhan lewat mekanisme pasar yang kompetitif. Singkatnya, Hal demikianlah yang kemudian membangun, mendorong dan menempatkan pendidikan bukan lagi sebagai sektor publik dibawah kontrol negara melainkan ikut dalam arus kontrol pasar dunia.
Ironi dan naas, sejak saat anak-anak, pemuda dan rakyat indonesia di terkam oleh mimpi buruk akibat dari cengkraman sistem ala kapitalis internasional. Setelah pergantian-pergantian rezim sejak lengsernya soeharto akibat dari hasrat kekuasaan dan tidak terkendalinya krisis moneter asia yang mencekam masyarakat indonesia dilubang penderitaan. Presiden baru naik, tidak mengubah sama sekali orientasi yang mereka kehendaki namun memuluskan dan memperjelas susunan rencana melalui kebijakan-kebijakan yang berdasar dari kesepakatan internasional tersebut. Seperti halnya UU BHMN dan dilanjutkan oleh presiden-presiden penerusnya baik itu megawati, SBY, Jokowi dengan berbagai kebijakan-kebijakan UU SISDIKNAS 2003 UU BHP 2009, UU PT 2012 serta kebijakan/peraturan lain yang tidak mengubah orientasi sebelumnya melainkan meneruskan semangat era Soeharto tersebut walaupun dalam periode yang sangat singkat gus dur memberi warna dan semangat yang berbeda di dunia pendidikan akan tetapi kandas oleh moralitasnya yang terkurung oleh hasrat politik dalam negeri dan penguasa modal internasional.
Kondisi pendidikan yang mahal, diskriminatif, elitis, manajemen birokratis dan mendukung status quo serta memapankan kesenjangan sosial bukanlah lahir begitu saja melainkan dari sejarah panjang sehingga sangatlah memprihatinkan bahkan menjauh dari cita-cita idealnya sebagai wadah pembebasan dan pemberdayaan sehingga tidak heran betapa menyedihkannya cetakkan mahasiswa dari perguruan tinggi yang berdiri tegak dengan keberpihakannya pada yang salah, berjiwa korup dan anti demokrasi serta segala keburukan tercipta karena di bentuk oleh sistem yang memiliki hasrat kepentingan yang anti kebutuhan pokok rakyat dan negara. Namun sejatinya perlu ditautkan kembali pada seluruh insan yang berkebutuhan pada pendidikan bahwa Perguruan tinggi merupakan wadah yang begitu bijak dan mulia namun terjebak dalam genggaman kepentingan para korporasi-korporasi internasional karena pendidikan tidak bisa terlepas dari ekonomi dan politik yang sedang eksis.
Bertolak dari masalah inilah, kewajiban bagi kaum muda, rakyat indonesia serta generasi berikutnya untuk tetap merefleksikan kembali kondisi dan paradigma perguruan tinggi di Indonesia. namun kondisi ini bukanlah ketetapan melainkan hal yang terbangun sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dihancurkan dan dibebaskan agar kembali pada hakikatnya.