Nabila hanya ingin Ayahnya sepakat kalau ia akan melanjutkan ke universitas, Ayahnya hanya meminta satu ia harus seperti Zio, adik Nabila yang berbeda beberapa menit lahir dari rahim Mama Zainab.
Mama Zainab menginginkan kedua anaknya tetap melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari SMA. Walaupun yang berhak untuk setuju atau tidaknya tetap seorang kepala keluarga.
Ayah Nabila memegang penuh kendali, Mama Zainab tidak berkuasa jika palu sudah diketuk, ia takut suaminya murka dan dikatakan istri durhaka.
Sudah jauh-jauh hari sebelum hari kelulusan, Nabila bercita-cita akan melanjutkan di universitas ternama.
“Asalamualaikum” ucap Zio, setelah pulang dari kursus basketnya, ia bergabung ke ruang makan.
Cuaca hari ini panas sekali, kondisi pikiran dan hati Nabila yang juga panas dan terus berpikir keras. “… Kali ini aku harus berani berbicara kepada Ayah, bahwa aku ingin melanjutkan pendidikanku. Toh, aku juga putrinya,” pikir Nabila.
Suasana makan siang saat itu sunyi. Zio mulai membuka obrolan, menceritakan apa saja yang ia ingin ceritakan, Ayah selau tertarik pada cerita Zio, tidak ada kata tidak sepakat untuk Zio.
Hanya Nabila yang diam, namun ia menikmati cerita kembarannya itu. Nabila juga senang dengan Zio, tidak ada benci ataupun dendam hanya karena Zio di nomer satukan Ayah.
“Wah, Zio beruntung sekali kalau kamu ikut pertandingan basket itu” Nabila masuk di obrolan antara putra dan Ayah.
“Sebenarnya aku tidak ingin menganggu pembahasan mereka, Ayah juga pada akhirnya akan sedikit mengacuhkan aku. Namun kali ini aku butuh berbicara dengan Ayah, untuk impian dan cita-citaku,” gumam Nabila.
“Ayah aku juga mau melanjutkan ke universitas ini!” Nabila menyodorkan selembar brosur.
Hening…!! Mama Zainab mulai cemas jika suaminya marah, Mama Zainab menunduk.
“Nabila, sudah ayah tegaskan kalau kamu tidak perlu bersusah payah sekolah. Kamu cukup membantu mama di rumah, lagi pula pada akhirnya nanti kamu akan mengurus suamimu, tidak ada gunanya sarjanamu..” jelas Ayahnya.
“Belajar saja menjadi calon istri yang baik pada Ibumu, cukup Zio yang meneruskan pekerjaan Ayah..” lanjutnya.
“Ayah, tidak seperti itu aku ini juga putrimu. Walaupun nanti pada akhirnya mengurus suami dan anak. Mendidik anak tidak hanya sebatas bisa menulis dan membaca saja,” jawab Nabila.
“Berani-beraninya kamu menjawab ucapan Ayah, aku ini Orangtuamu..!” Tegas Ayahnya.
Tampak cek-cok di meja makan, Zio diam, Mama Zainab khawatir. Sudah tak ada lagi nafsu makan terlihat. Nabila menangis, selalu saja Zio dan hanya Zio di mata Ayahnya.
Suami dari Mama Zainab itu pergi dari acara makan siang, wajahnya memerah, nafasnya gelagapan, marah besar pada Nabila saat tak didengar perintahnya. Ia terbiasa memegang kendali, Mama Zainab selalu meng-iyakan tanpa membantah perintah suaminya itu. Seketika Nabila memberontak, tentu amarahnya memuncak.
Satu menit setelahnya, Nabila berlari menangis keluar dari ruang makan, ia tersedu-sedu, rapuh hatinya, tersakiti oleh orang terdekatnya, orang yang dia anggap tidak akan menyakitinya. Orang yang anak perempuan-perempuan lain di luar sana disebut-sebut tidak akan mematahkan hati perempuannya. Gelar laki-laki yang tidak akan membuat hancur perempuannya. Gelar itu disebut Ayah.
“Kak Nabila, akan kuberusaha berbicara pada Ayah” ucap Zio menghampiri Nabila.
“Tak usah Zio, tak mengapa. Nanti jika Ayah sudah tidak marah, akan kucoba lebih baik berbicara padanya” jawab Nabila.
“Aku sedikit iri padamu, baik dari mama dan Ayah kamu sempurna mendapat kasih sayangnya, ingat tidak? saat kamu dibelikan robot oleh Ayah saat ia pulang berkerja dari sekolah? kamu dibelikan robot aku hanya diberi mainan kunci,” lanjut Nabila.
“Ingat lagi? saat aku meminta dibelikan boneka, Ayah malah memarahiku dan memukuliku dengan bambu. Ketika kamu meminta es krim Ayah cepat mencarikanmu dan saat kejadian sama padaku, aku hanya di beri es potong,” lanjut Nabila dengan suara tersedu, menangis di hadapan Zio.
“Zio, Ayah hanya menginginkanmu, tidak dengan keberadaanku,” Nabila berteriak pada Zio dan menangis.
Zio memeluk kakaknya yang sedang rapuh itu, ia juga perihatin kepada kembarannya, sejak kecil mereka berdua sudah diperlakukan berbeda, Zio mendapat kasih sayang yang baik dari Ayahnya. Tidak bagi Nabila.
Suami Mama Zainab bekerja setiap pagi hingga siang hari, mendidik anak bangsa di salah satu SMA. Mama Zainab hanya bergantung pada suaminya, ia hanya seorang ibu rumah tangga, tidak diizinkan untuk bekerja sekalipun Mama Zainab seorang sarjana.
Amarah suami Mama Zainab tak berhenti pada kejadian siang hari itu. Nabila terkejut mendengar benturan keras di tembok ruang kamar Orangtuanya. Sontak terkejut mendengar benda jatuh dan terdengar pecah. Nabila berlari menuju kamar Mama Zainab dan Ayahnya, ia penasaran dan mengintip dari lubang kunci pintu kamar.
Jilbab Nabila telah basah, berlinang air keluar dari matanya, matanya memerah, sesak nafasnya, terkejut hatinya. Dilihat Mama Zainab dipukul wajahnya, ditendang dengan keras oleh Ayahnya, Mama Zainab dibentak keras.
“Istri tak berguna, tak bisa mendidik putri sendiri dengan baik.. !” teriak suami Mama Zainab.
Nabila melihat kejadian dengan jelas, Mama Zainab tak kuasa dengan amarah suaminya itu, Mama Zainab hanya menangis dangan lemah. Tak memberontak ataupun menjawab ujaran suaminya itu, Mama Zainab melakukan itu karena takut sakit jantung suaminya muncul.
Setelah Nabila lama mendengar bentakan Ayahnya ternyata ia bukan marah karena Nabila saja, ia pusing dengan tagihan hutang dari bank, hutang yang tanpa diketahui oleh putra-putrinya.
Nabila tak tahan dengan kelakuan Ayahnya itu. Ingin Nabila memeluk Mama Zainab dan mengatakan ia tak perlu menangis. Tidak tahan melihat kekerasan pada Mamanya, cepat-cepat mengambil langkah seribu, ia membuka pintu kamar dan memeluk Mama Zainab, melindungi Mama Zainab dari pukulan Ayahnya.
“Sudah Ayah, pukuli aku. Jangan sakiti Mama, hanya ia yang aku miliki, tak akan kubiarkan Ayah merenggut Mama dariku”  ucap Nabila merintih.
Suami Mama Zainab itu terkejut ketika ia melihat Nabila berlari ke dalam kamarnya. Nabila tak ingin Mama Zainab terus dihajar. Hanya Mama Zainab yang menyayanginya, hanya Mama Zainab yang menuruti keinginannya, Nabila mengingat ketika dulu meminta dibelikan boneka kepada Ayahnya sontak dipukuli bambu. Hanya Mama Zainab yang memberikan ia boneka yang dirajut sendiri olehnya. Takkan Nabila membiarkan Mama Zainab disakiti oleh Ayahnya sekalipun.
Amarah dari suami Mama Zainab memuncak, diambilnya botol parfum dari kaca, tak sempat melempar Nabila dan Mama Zainab, suami Mama Zainab itu didorong oleh Nabila ke pojok tembok kamar. Tidak ada orang lain di ruang selain mereka.
Nabila ketakutan melihat Ayahnya duduk diam, nafasnya sesak memegang jantungnya. Mama Zainab sontak khawatir jika suaminya serangan jantung, Nabila dan Mama Zainab menghampiri pria yang telah lemah itu.
Datang segerombolan orang ke rumah Nabila, tetangga rumah, sahabatnya, keluarganya, rekan-rekan guru tempat Ayahnya mengajar, dan teman Zio berkumpul di rumah Nabila.
Nabila melihat Mama Zainab mengangis lemah dengan tudung hitam yang menutupi kepalanya, dilihat juga luka di pipi Mama Zainab yang basah bekas tamparan Ayahnya.
Zio pun begitu, ia lemah melihat Ayahnya tertidur pulas ditutupi kain putih, setiap kali orang datang di buka kain itu sampai kepala Ayahnya, dibacakan surah-surah dari Al-Quran.
Hingga peringatan tujuh hari suami Mama Zainab meninggal, Nabila murung, ia masih merasa bersalah kepada Ayahnya, ia menyesal dengan pikiran andai saja ia tidak mendorong Ayahnya, ia merasa bersalah karena Ayahnya tidak sempat mendapatkan pertolangan pertama dari dokter sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Kini mama Zainab harus membesarkan putra-putrinya sendirian, mencari nafkah untuk hidup baru tanpa suaminya.
Rafika Miatul S.