Oleh: Mavi Adiek Garlosa (Mahasiswa Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram, Prodi Ilmu Hukum)
Pemilihan Rektor (Pilrek) merupakan proses demokratis yang penting dalam pendidikan tinggi. Namun, ketika penguasa atau pemerintah memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam proses Pilrek, maka kepentingan pendidikan dan independensi akademik terancam.
Pilrek haruslah berjalan secara transparan dan akuntabel, dengan partisipasi aktif dari masyarakat akademik. Penguasa atau pemerintah tidak seharusnya memiliki pengaruh yang berlebihan dalam menentukan hasil Pilrek.
Semestinya independensi akademik dan kepentingan pendidikan tetap menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dan evaluasi yang ketat terhadap proses Pilrek untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan secara adil dan transparan.
Ketika pemilihan rektor (Pilrek) dan relasi kuasa di perguruan tinggi, kita akan dihadapkan pada dilema yang mendasar: bagaimana menjaga integritas pendidikan di tengah pengaruh politik yang kuat. Pendidikan seharusnya tetap menjadi ruang yang otonom, di mana kebebasan berpikir dan inovasi dapat berkembang tanpa tekanan dari kepentingan penguasa.
Pendidikan memiliki peran penting dalam mencetak generasi pemimpin yang kritis dan berwawasan luas. Ketika rektor terpilih berdasarkan dukungan politik, ada risiko bahwa kebijakan yang diambil akan lebih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan kualitas akademik. Ini dapat mengakibatkan stagnasi dalam penelitian dan pengembangan, serta mengurangi daya saing institusi pendidikan di tingkat global.
Dalam pemilihan Rektor (Pilrek) semestinya juga membutuhkan kesadaran kolektif dari semua stakeholder di perguruan tinggi—dosen, mahasiswa, dan alumni—untuk mengawasi dan menuntut transparansi dalam proses Pilrek. Dengan meningkatkan partisipasi dan pengawasan.
Pendidikan harus tetap berdiri di atas kepentingan politik. Dengan menjaga otonomi dan integritas pendidikan, sehingga menciptakan lingkungan akademik yang mendukung inovasi dan pemikiran kritis, yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi yang mampu menghadapi tantangan global. Pilrek dan manajemen pendidikan tidak hanya menjadi ajang kekuasaan, tetapi juga menjadi sarana untuk mewujudkan visi pendidikan yang lebih baik.
Besarnya Pengaruh Politik Penguasa
Sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ristekdikti No. 21 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017 Pasal 9 ayat 3 yang berbunyi:
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a. Menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari total pemilih yang hadir; dan
b. Senat memiliki 65% (enam puluh lima persen) hak suara dan masing-masing anggota Senat memiliki hak suara yang sama.
Besarnya hak suara yang dimiliki penguasa menjadi akar masalah dalam setiap pemilihan Rektor (Pilrek) karena akan mempengaruhi independensi akademik. Pilrek bukan lagi tentang uji gagasan dan visi misi, melainkan tentang seberapa dekat kita dengan kekuasaan. Gagasan visi besar bukan lagi menjadi landasan utama yang perlu dipertimbangkan, karena siapa yang dekat dengan kekuasaan maka bisa mengamankan 35% hak suara.
Keterlibatan politik kekuasaan yang besar sering kali membuka pintu bagi praktik korupsi dan nepotisme dalam proses penerimaan mahasiswa, pengangkatan dosen, dan alokasi dana. Hal ini tidak hanya merusak integritas institusi pendidikan, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki koneksi politik.
Ketika rektor terpilih berdasarkan loyalitas politik, bukan karena kompetensi akademis, kualitas pendidikan dapat terancam. Kebijakan yang ditetapkan mungkin lebih fokus pada pencapaian jangka pendek dan pengaruh politik, mengabaikan kebutuhan pendidikan yang lebih mendalam dan berkelanjutan. Apakah kita siap menghadapi generasi lulusan yang kurang siap menghadapi tantangan zaman?
Alih-alih untuk mementingkan kepentingan pendidikan, yang ada justru kepentingan elit penguasa untuk membungkam ruang-ruang demokrasi di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri. Tak jarang Perguruan Tinggi Negeri akhirnya hanya fokus pada relasi kuasa yang dimiliki, bukan fokus pada pengembangan pendidikan yang lebih baik.
Hubungan antara penguasa dan pendidikan seharusnya bersifat kolaboratif, bukan dominan. Penguasa bisa memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan yang pro-pendidikan, tetapi tanpa mencampuri urusan internal perguruan tinggi. Misalnya, alokasi dana yang transparan dan kebijakan pendidikan yang inklusif bisa menjadi langkah positif tanpa mengurangi otonomi akademik.
Pengaruh penguasa yang terlalu besar dalam pendidikan harus diwaspadai dan ditangani dengan serius. Untuk menciptakan lingkungan akademik yang sehat dan berkualitas, penting untuk menjaga otonomi pendidikan dan memastikan bahwa kebijakan diambil berdasarkan prinsip-prinsip akademis yang kuat, bukan kepentingan politik.
Pemilihan Rektor Universitas Mataram dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Pemilihan rektor sering kali menciptakan gelombang diskusi yang dinamis, namun juga dipenuhi dengan tantangan yang serius. Di tengah harapan akan pemimpin yang inovatif dan visioner, ada bayang-bayang kekuasaan yang dapat memengaruhi proses ini secara signifikan.
Pemilihan Rektor Universitas Mataram tahun ini tampaknya akan menarik. Gejolak persyaratan pun sudah mulai masuk perbincangan hangat di meja-meja kopi mahasiswa, tapi yang paling krusial adalah masalah batas usia calon rektor yang banyak menuai penafsiran dari berbagai kalangan.
Akan tetapi, bukan perkara persyaratan yang sekiranya lebih krusial, melainkan tentang pengaruh kekuasaan dalam pemilihan Rektor itu sendiri. Bagaimana tidak? Cukup dengan mengamankan 1/3 suara senat dan tambahan dari 35% dari kementerian, sudah cukup untuk menduduki kursi Rektor.
Ada indikasi pemilihan Rektor Universitas Mataram tahun ini memiliki relasi kuasa yang kuat yang terjun langsung mengamankan Pilrek, terbukti dengan bagaimana pemilihan raya mahasiswa Universitas Mataram beberapa minggu yang lalu mengalami banyak intervensi dari elit pusat beserta birokrasi kampus dengan deal-dealan untuk mengamankan pemilihan Rektor.
Ketika semua itu terjadi, kekhawatiran tentunya tetap terlintas dalam benak kami sebagai mahasiswa. Terlebih lagi, Universitas Mataram merupakan kampus yang menjadi barometer pergerakan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Universitas Mataram nantinya tidak lagi menjadi lembaga yang mewadahi mahasiswa untuk berpikir kritis dan pendidikan bukan lagi menjadi fokus utama, melainkan hanya sebatas ilusi belaka. Yang ada hanya kepentingan elit-elit penguasa untuk meredam gerakan mahasiswa.
Lingkungan akademik yang ideal seharusnya mendorong kebebasan berpikir. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh politik kekuasaan yang kuat, dosen dan mahasiswa mungkin merasa terbatasi dalam menyampaikan kritik atau gagasan baru. Ini menciptakan atmosfer ketidakpastian, di mana inovasi terhambat dan kreativitas terjaga dalam bayang-bayang.
