29.5 C
Mataram
Monday, November 10, 2025
spot_img

Rektor Wajib Diturunkan: Menegaskan Prinsip Akuntabilitas

Oleh: Sulaiman Perawira Sasakadi (Alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram)

Mahasiswa takut pada dosen, Dosen takut pada dekan, Dekan takut pada rektor, Rektor takut pada menteri, Menteri takut pada presiden, Presiden takut pada mahasiswa. takut ’66, takut ’98. (Taufiq Ismail, 1998)

Baris-baris kuat Taufiq Ismail ini tidak hanya menggambarkan siklus ketakutan dalam sejarah politik Indonesia, tetapi juga secara presisi memotret hierarki otoritas dan akuntabilitas yang rapuh dalam lingkungan akademik. Di puncak rantai ini, Rektor berada pada posisi yang ditakuti oleh bawahannya, namun ia sendiri juga memiliki pihak yang harus ia takuti—yaitu Menteri, dan pada akhirnya, kembali pada kekuatan pengawas tertinggi: Mahasiswa dan Hukum. Refleksi ini menunjukkan bahwa kekuasaan seorang Rektor tidak pernah absolut. Oleh karena itu, perlu ditegaskan: Rektor mutlak bisa diturunkan, dan mekanisme hukum yang ada mewajibkan hal tersebut jika terjadi pelanggaran serius. Jabatan rektor bukanlah takhta abadi, melainkan amanah publik yang tunduk sepenuhnya pada akuntabilitas konstitusional dan regulasi pendidikan.

Landasan Konstitusional dan Imperatif Akuntabilitas Hukum

Jabatan rektor, terutama di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), adalah jabatan publik yang terikat pada prinsip-prinsip dasar negara.

A. Prinsip Kedaulatan Hukum sebagai Batasan Kekuasaan

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini adalah palu godam yang memecah mitos kekebalan jabatan Rektor. Tidak ada kekuasaan di kampus yang dapat berdiri di atas Statuta dan undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban dan sumpah jabatan adalah pintu masuk bagi penegakan hukum dan konsekuensi pencopotan.

B. Mekanisme Penjerat Rektor (Akuntabilitas ASN)

Mayoritas Rektor PTN adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), yang secara ketat diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kedua regulasi ini adalah senjata legal untuk memberhentikan Rektor. Pelanggaran disiplin berat, seperti penyalahgunaan wewenang, terbukti korupsi, atau pelanggaran etika lainnya, dapat berujung pada sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS, yang secara otomatis menggugurkan kelayakan statusnya sebagai rektor.

Payung Hukum Penegasan Pencopotan: Ketentuan Menteri yang Eksplisit

Dasar hukum teknis pemberhentian Rektor telah diatur secara rinci dan tidak ambigu dalam regulasi Menteri, yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk bertindak. Untuk Rektor PTN, acuannya adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri (beserta perubahannya, Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018).

Pasal 13 Peraturan Menteri ini secara lugas membenarkan pemberhentian sebelum masa jabatan berakhir:

Ayat (1) huruf a – Pelanggaran Etika Akademik: Rektor dapat diberhentikan karena telah diberhentikan sebagai Dosen karena pelanggaran disiplin berat (misalnya, plagiarisme).

Ayat (1) huruf c – Tindak Pidana: Rektor wajib diberhentikan jika dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana.

Artinya, jika Rektor terbukti korupsi, menyelewengkan dana, atau terlibat kejahatan, maka pencopotan adalah konsekuensi hukum yang tidak dapat dihindari, bukan sekadar pilihan Menteri.

Sementara untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS), meskipun kewenangan pemberhentian berada di tangan Badan Penyelenggara (Yayasan), keputusan tersebut harus didasarkan pada Statuta dan prinsip Good University Governance. Pelanggaran etika dan hukum Rektor PTS harusnya memicu pencopotan oleh Yayasan demi menjaga reputasi dan keberlangsungan institusi.

Preseden Hukum: Membuktikan Bahwa Pencopotan adalah Keniscayaan

Kasus-kasus nyata berikut membuktikan bahwa pemberhentian Rektor bukan hanya teori hukum, melainkan praktik yang dijalankan sebagai bentuk penegasan kedaulatan moral dan hukum.

Kasus Nyata, Institusi & Status Sebab Pemberhentian Dasar Hukum

Plagiarisme Karya Ilmiah : UHO & UIN Walisongo (PTN) Pelanggaran integritas akademik & etika ASN PP No. 94 Tahun 2021
Dugaan Kekerasan Seksual : Universitas Pancasila (PTS) Pelanggaran moral & tindak pidana Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
Manipulasi Nilai / Korupsi : Mantan Rektor Untad (PTN) Penyalahgunaan wewenang dan dana publik Permenristekdikti 19/2017 & UU Tipikor

Preseden-preseden ini menjadi peringatan keras: Menara gading tidak kebal. Payung hukum berfungsi sebagai penjamin bahwa Rektor yang melanggar akan kehilangan jabatannya.

Rektor Wajib Mundur, Warga Kampus Wajib Menggugat

Intinya, Rektor pasti bisa dan harus diturunkan jika melanggar ketentuan hukum, etika, dan Statuta. Kegagalan mencopot Rektor yang bermasalah adalah kegagalan sistem tata kelola dan merupakan pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum. Oleh karena itu, seluruh Civitas Academica—Senat, Dosen, dan Mahasiswa—memiliki tugas moral dan politik yang sah untuk mengawasi dan menggugat. Mereka adalah manifestasi nyata dari kedaulatan rakyat di kampus.

Untuk memastikan akuntabilitas Rektor tidak hanya berhenti di atas kertas, setiap warga kampus harus berani mengambil peran. Institusi pendidikan harus menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan etika, selaras dengan nilai-nilai konstitusional. Ketika seorang Rektor terbukti melenceng, mekanisme hukum wajib bekerja sebagai penjamin marwah dan masa depan pendidikan tinggi Indonesia.

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles