Oleh : Zahir
Seorang koboi datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterimakasih mencari sang koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat-pangkat atau sanjungan-sanjungan dan ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit berkuasa.
-Soe Hok Gie mengenai analogi gerakan mahasiswa
Hegemoni Pemerintah Orde Baru Terhadap Gerakan Mahasiswa
Jika kita melihat rentetan gerakan dan peran mahasiswa dalam sejarah perjuangan Indonesia, mahasiswa memiliki peran yang sangat besar. Mulai dari tahun 1905 yang dimana menjadi pelopor kebangkitan nasional, tahun 1928 dipeloporinya gerakan sumpah pemuda, tahun 1945 dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan indonesia, tahun 1966 dan 1998 perannya dalam pergantian rezim.
Rentetan gerakan mahasiswa diatas tidak terlepas dari solidnya gerakan mahasiswa dengan rakyat itu sendiri. Saya rasa tiada orang yang meragukan peran mahasiswa dalam perubahan sosial-politik baik di Indonesia maupun dunia. Dari rentetan sejarah diatas kita bisa melihat betapa pemuda dan mahasiswa memiliki peran besar dalam perombakan atau pergantian era.
Namun beban kesejarahan tersebut yang membuat mahasiswa makin hari makin menjadi-jadi. Dibalut dengan romantisme-heroisme bahwa mahasiswa adalah Agent of change,social control, moral force, iron stocks, dan guardian of value.
Negara dengan hegemoninya mengatur dan membatasi gerak mahasiswa, lebih jauh lagi negara bahkan menyediakan lakon dan peran untuk mahasiswa. Lakon dan peran tersebut disiapkan panggung dengan penontonnya adalah Rakyat.
Hegemoni pemerintahan orde baru terhadap peranan mahasiswa sebagai agen pengubah membuat negara lebih leluasa sebagai sutradara dalam lakon zaman yang sedang dimainkan saat ini. Negara dengan kekuasannya yang cenderung korup menyiapkan panggung untuk mahasiswa dengan lakon yang ada, mahasiswa memainkan peranannya sebagai aktor sementara rakyat akan terus menjadi penonton.
Hal inilah yang berdampak pada gerakan mahasiswa yang kadang sifatnya momentuman, bahkan pasca demonstrasi besar-besaran 1998 gerakan mahasiswa yang menang dan berhasil masih menjadi angan-angan.
Beban sejarah yang begitu besar dipundak, ditambah hegemoni negara yang melekat dikepala mahasiswa melahirkan mitologi dan mistik-mistik dalam gerakan mahasiswa. Dimana posisi mahasiswa dalam aksi-aksinya?, tentu saja jawabannya diposisi dimana rakyat berada, namun akibat mitologi dan mistik-mistik gerakan mahasiswa diatas membuat mahasiswa berada di kotak yang terpisah dengan rakyat.
Auto kritik terhadap Peranan Mahasiswa (Agent Of Change, Guardian of Value, Iron Stock, Social Control, dan Moral Force)
Tidak perlu terlalu jauh, sebagian besar mahasiswa saat ini bahkan mengamini peranan heroiknya tersebut. Mereka dengan bangga mengutarakan diri mereka sebagai sang agen pengubah. Di arena masa orientasi mahasiswa baru atau lebih dikenal dengan PKKMB misalnya, para Ketua BEM serta pimpinan lembaga mahasiswa lainnya dengan menggebu-gebu menyatakan peran mahasiswa sebagai agen pengubah. “Mahasiswa adalah agent of change, guardian of value, social control bla bla bla.”
Maka tak heran, dengan peran-peran yang heroik itu mahasiswa dalam gerakannya sering kali bergerak secara otonom bahkan lebih parahnya secara individualistik lembaga tanpa ada keterlibatan rakyat yang katanya dibela itu sendiri.
Mengapa?, Peran negara dalam membentuk kesadaran subyektif mahasiswa ditambah dengan sebagian besar mahasiswa mengamini diri mereka sebagai sang agen perubahan menempatkan diri mereka sebagai seorang ‘intelegensians’ yang lagi-lagi mahasiswa tetap dipihak rakyat, namun berada pada barisan berbeda dengan mereka karena dalih mahasiswa adalah kaum terpelajar.
Alih peran dan sebagian mahasiswa yang kian hari belum bisa menemukan jati dirinya membuat gerakan mahasiswa stagnan dan makin mengkaburkan masa depan gerakan mahasiswa.
Penyematan diri sebagai agent of change menurut Tera salah seorang Aktivis di NTB, merupakan sebuah kecacatan berpikir. Sebab, hal tersebut akan merubah pola pikir mahasiswa terhadap peranan dan bentuk gerakannya.
“Narasi agent of change justru membentuk dan menyetrum pola pikir mahasiswa untuk menjadi (saya adalah entitas yang supreme, mahasiswa adalah entitas yang berbeda dari entitas yang lain, maka perubahan hanya bisa diraih karena saya terlibat) nah narasi itu yang kemudian membuat mahasiswa jauh dari gerakan rakyat,” ucap Tera.
Padahal fakta sejarah gerakan-gerakan mahasiswa dikatakan berhasil karena tidak ada pendikotomian antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat. Aksi dengan buah kemenangan biasanya adalah aksi yang melibatkan rakyat dan sifatnya masif, tidak ada unsur egosentris gerakan antara lembaga yang satu dengan lainnya. Narasi agent of change kemudian membuat pendikotomian antara gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat, karena dalih bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual.
Penulis sendiri merasa perlu ada upaya demitologisasi gerakan yang lebih masif lagi, supaya kita sebagai mahasiswa terlepas dari jeratan-jeratan hegemoni negara. Langkah awal yang hendak dilakukan mungkin dengan cara mengubah pola pikir terhadap peranan mahasiswa yang terlalu subyektif tersebut.
“Mahasiswa itu adalah penyokong perubahan, dia rasanya kalau di saya adalah bukan agent of change. Karena Kalau kita bicara upaya memperjuangkan hak-hak demokratis, terlebih soal demonstrasi besar-besaran mahasiswa itu memiliki peran sebagai penyokong terhadap elemen atau entitas yang lebih banyak kuantitasnya seperti kaum tani atau kelas buruh, masyarakat umum pada intinya,” tegas Tera.
Implikasi Hegemoni Pemerintah Orde Baru Terhadap Gerakan Mahasiswa
Implikasi dari hegemoni negara ini membuat gerakan mahasiswa kian hari menjadi gerakan yang sifatnya momentuman, lebih parah dari itu gerakan-gerakan yang dilakukan bahkan atas nama lembaganya masing-masing (terpecah-belah). Padahal menurut Fajar salah seorang penggerak lingkungan di NTB, seharusnya mahasiswa sekarang sudah tidak lagi berbicara tentang perbedaan ideologis lembaga, mahasiswa mestinya turun atas dasar musuh bersama.
“kita tidak bicara lagi tentang perbedaan ideologis perbedaan metode gerakan, tapi sudah berbicara tentang perbedaan kepentingan dalam artian hari ini, harusnya ada salah satu penyadaran ya kita harusnya turun atau bergerak atas dasar musuh bersama itu sendiri,” ungkap Fajar atau lebih akrab disapa Beko.
Naif mungkin kata yang tepat dari Tera, menurutnya egosentrisme gerakan memang ada sejak dulu hingga terpecah belah. Namun, perpecahan itulah yang kemudian membentuk kesadaran apriori yang dimana jika bergerak secara organ masing-masing hanya akan memenangkan organ itu saja.
“Naif sih, menilik sejarah di 98, sekitar tahun 93 dan 95 gerakan itu pecah, memang betul ada aja egosentris gerakan yang ingin merebut lapangan politik, akan tetapi di tahun 97 dan 98 mereka sadar bahwasanya gak akan bisa menang kalau benderanya satu,satu,satu, harus nyatu memang semuanya. Langsung melihat kenyatan bahwa jika caranya terpecah-pecah kemudian membawa kemenangan bagi organ dan lembaganya sendiri itu ndak akan bisa tercapai,” ucap Tera.
Ada pola-pola yang penulis tangkap selama mengamati gerakan-gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Semisal demonstrasi hari-hari ini lebih ke tarung gagah-gagahan siapa yang berorasi, aksi cenderung dijadikan panggung untuk menunjukkan eksistensinya. Maka tak heran, sering kali aksi misalnya menumbalkan korban. Karena, petugas aksi yang ditugaskan sibuk menunjukkan eksistensinya tanpa terlalu memikirkan massa aksi yang lain. Bahkan saat ini trendnya adalah buat story di sosial media menggunakan foto atau video orasi ditambah dengan kata-kata idealik yang entah hasil sendiri atau buku.
Implikasi terhadap peranan mahasiswa dibawah bayang-bayang negara juga melahirkan kebiasaan baru. Yang mulanya mahasiswa diidentikkan dengan penggerak atau demonstran, orang-orang yang berpengaruh terhadap berubahnya kebijakan sosial politik negara, dan kini sudah beralih trend. Beberapa mahasiswa sekarang lebih memilih sebagian besar hidupnya di kampus sebagai seorang penambang piala plastik. Tak bisa dipungkiri juga, hal ini merupakan batasan-batasan gerak mahasiswa saat ini yang diatur oleh negara.
Hal inilah yang menurut Tera juga menjadi dampak minimnya minat mahasiswa untuk melakukan demonstrasi. Bahwasanya lembaga-lembaga atau dari segi individu mahasiswa tidak pernah dibiasakan untuk bergerak.
“Absennya iklim gerakan atau kebiasan kita untuk melakukan demonstrasi atau gerakan, itu kemudian menjadi keterbiasaan. Normalisasi dimana orang juga udah malas gerak, beberapa lembaga juga bahkan kadang-kadang juga sudah terlihat kayak, bukan acuh! Mereka tetap ingin membahas itu tapi mereka tidak siap karena dipengaruhi oleh faktor eksternal atau lingkungan yang tidak membiasakan organ atau lembaganya itu untuk bergerak turun ke jalan,” terangnya.
Perpecahan dan gerakan yang sifatnya momentuman itu pada ujungnya merubah paradigma mahasiswa lainnya tentang gerakan mahasiswa. Bahkan beberapa mahasiswa harapannya pupus terhadap gerakan mahasiswa akhir-akhir ini.
Berikut pendapat beberapa mahasiswa mengenai gerakan-gerakan mahasiswa akhir-akhir ini.
“Jujur saja tidak ada yang saya harapkan. Namun setidaknya jangan sampai para pendemo mengorbankan diri sendiri sampai pingsan hanya untuk kegiatan yang tidak membuahkan hasil,” ungkap WL salah seorang mahasiswi FKIP Unram.
“Ndak guna sebenarnya demo itu, capek-capek demo ujung-ujungnya tuntutan gak berhasil. Dan ada dua model pendemo menurut saya, ada yang benar-benar demo untuk apa yang dituntut, dan ada yang hanya membuat story untuk di upload,” ungkap SA seorang mahasiswa D3 Pariwisata Unram.
“Sudah tidak tahu hasilnya kenapa demo, dan saya tidak memiliki harapan,” kata SA salah seorang mahasiwi FKIP Unram.
“Mengenai demo sepertinya sejauh ini sangat jarang berhasil yaa, malah jatuhnya kaya tawuran antara para aparat dengan mahasiswa ujung ujungnya. Yang katanya mau menyalurkan aspirasi rakyat malah jadinya lebih ke meluapkan emosi sendiri bahkan sampai ada yang merusak fasilitas umum,” ucap salah seorang mahasiswi yang tidak mau disebutkan namanya.
Menurut hemat penulis, jika terus dibiarkan seperti demikian maka gerakan mahasiswa akan kabur masa depannya. Memang harus ada kesadaran apriori dalam setiap individu penggerak di semua lembaga mahasiswa, bahwa jika gerakan hanya dilakukan momentuman, tidak pernah melibatkan rakyat, serta sifatnya terpecah belah maka akan tetap stagnan seperti ini hingga masa yang akan datang. Dan jika gerakan tetap stagnan maka perubahan bukan mungkin tapi tak akan pernah diraih. Kesadaran apriori itulah yang nantinya akan perlahan melepas mahasiswa dari belenggu hegemoni negara.
Sebab, jika tidak ada perombakan atau perubahan dalam gerakan mahasiswa, maka sejarah kejayaan gerakan mahasiswa akan tetap menjadi sejarah. Dan perubahan itu harus ditopang dari paradigma berpikir setiap entitas dan bahkan individu mahasiswa.
Jika tidak, maka fakta-fakta kemenangan itu hanya akan menjadi cerita, dan cerita berubah menjadi legenda. Dan semua bahan bakar motor perubahan itu tetap bersumber dari negara. Mahasiswa hanya mendengar deru merdu dari suara yang dihasilkannya.